Perencanaan Strategis Dan Pengorganisasian Dalam Menejemen Islam




BAB IV

1. PARADIGMA MANAJEMEN DAN ORGANISASI
Manajemen berasal dari bahasa Inggris: management dengan kata kerja to manage yang secara umum berarti mengurusi. Dalam arti khusus manajemen dipakai bagi pimpinan dan kepemimpinan, yaitu orang-orang yang melakukan kegiatan memimpin. Manajemen kemudian diartikan sebagai suatu rentetan langkah yang terpadu untuk mengembangkan suatu organisasi sebagai suatu sistem yang bersifat sosio-ekonomi-teknis. Definisi lebih rinci disampaikan Stonner dalam Management (1978), yaitu sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin dan mengawasi usaha-usaha dari anggota organisasi dan dari sumber-sumber organisasi lainnya untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Dari pengertian tersebut di atas, maka organisasi didudukkan sebagai suatu sistem yang bersifat sosio-ekonomi-teknis. Sistem adalah suatu keseluruhan dinamis yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan secara organik. Dinamis berarti bergerak, berkembang ke arah suatu tujuan. Sosio (sosial) berarti yang bergerak di dalam dan yang menggerakkan sistem itu ialah manusia. Ekonomi berarti kegiatan dalam sistem bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Teknis berarti dalam kegiatan dipakai harta, alat-alat dan cara-cara tertentu.
Sementara kepanitian adalah sebuah kelompok orang sebagai suatu kelompok yang diserahi suatu masalah untuk dipecahkan. Kepanitiaan dibentuk sebagai bagian dari struktur organisasi dengan tugas dan wewenang yang didelegasikan secara spesifik. Keuntungan untuk mendapatkan pemikiran dan pertimbangan kelompok, penghindaran sentralisasi kewenangan pada satu pihak, motivasi partisipasi, kemudahan koordinasi dan distribusi tugas dan informasi adalah beberapa alasan terbentuknya kepanitiaan.
Perspektif Islam meluruskan pandangan ini. Islam memandang bahwa keberadaan manajemen sebagai suatu kebutuhan yang tak terelakkan dalam memudahkan implementasi Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Implementasi nilai-nilai Islam berwujud pada difungsikannya Islam sebagai kaidah berpikir dan kaidah amal dalam kehidupan. Sebagai kaidah berpikir, syariah difungsikan sebagai asas dan landasan pola pikir. Sedangkan sebagai kaidah amal, syariah difungsikan sebagai tolok ukur perbuatan. Jadi, manajemen diperlukan untuk mengelola berbagai sumberdaya, seperti sarana dan prasarana, waktu, SDM, metode dan lainnya dalam rangka pencapaian tujuan implementasi nilai-nilai Islam secara efektif dan efisien.
Aplikasi manajemen menyentuh semua bidang kehidupan (pemerintahan, industri, perdagangan, pertanian, dll) beserta seluruh aspeknya dari hulu hingga hilir. Selain sebagai tool, manajemen memiliki dua unsur lainnya, yakni subyek pelaku dan obyek tindakan. Subyek pelaku manajemen tidak lain adalah manajer itu sendiri, apakah itu pimpinan organisasi, kepala departemen, koordinator tim, ketua panitia atau lainnya. Sedangkan obyek tindak manajemen terdiri atas organisasi, SDM, dana, operasi/produksi, pemasaran, waktu dan obyek lainnya. Disamping itu, manajemen juga memiliki empat fungsi standar, yaitu fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (actuating) dan pengawasan (controlling).
Sementara berkenaan dengan organisasi, Islam memandangnya sebagai suatu wadah sebagaimana komunitas dan masyarakat yang lebih luas yang hanya akan terjadi bilamana terdapat interaksi di antara anggotanya. Interaksi ini pun hanya dimungkinkan bila terdapat kesamaan maslahat di dalamnya. Interaksi antar anggota ini ditandai oleh tiga unsur, yakni adanya kesamaan pemikiran dan perasaan tentang maslahat tersebut yang dibingkai dalam satu koridor aturan yang sama. Dengan berbasis pada perspektif Islam, maka interaksi yang berjalan mestilah interaksi yang Islami. Interaksi yang didalamnya terjalin kesamaan pemikiran, perasaan dalam satu aturan main yang sama, yakni Islam. Bila tidak, maka keterasingan antar elemen anggota akan menjadi suatu keniscayaan.
Dalam organisasi dakwah, maslahat yang dimaksud adalah keberlangsungan dakwah itu sendiri. Guna mewujudkan interaksi yang tepat dan optimal, maka maslahat ini memberikan prasyarat yang harus dimiliki oleh sebuah organisasi dakwah. Prasyarat itu – sebagaimana disarikan dari Syekh Taqiyuddin An Nabahani dalam Kitab Takatul Hizby (1954) – adalah bahwa;
(1)    organisasi dakwah haruslah berdiri atas dan dibentuk untuk mengusung satu fikroh yang jernih dan jelas, yakni Islam (QS. An Nahl: 125);
(2)    metodologi dakwah yang diterapkan organisasi dakwah mestilah sesuai dengan thoriqoh dakwah Rasulullah SAW;
(3)    sejalan dengan dakwah, maka sifat keanggotaannya pun haruslah terbuka hanya bagi umat Islam; dan
(4)    ikatan antar anggota haruslah dibangun atas dasar mabda Islam.
2. STRATEGI INDUK DAN ORIENTASI MANAJEMEN SYARIAH PADA ORGANISASI
Keberadaan dan sekaligus performansi organisasi sangat lekat dan identik dengan strategi induknya, yakni visi, misi dan tujuan. Karena itu, penerapan syariah dalam perspektif perencanaan strategis nampak jelas pada isi strategi induk ini. Strategi Induk merupakan rencana strategis untuk melihat sisi organisasi kita 5, 10 atau 20 tahun (lazimnya untuk 5 tahun) mendatang. Berpikir strategis akan membawa cakrawala atau wawasan jauh ke depan dan tidak terjebak pada suasana hari ini atau hari kemarin. Rencana jangka panjang ini sangat diperlukan sebagai barometer atau penunjuk arah aksi organisasi yang dikaitkan dengan kemampuan serta peluang yang ada.
Visi adalah cara pandang yang menyeluruh dan futuristik terhadap keberadaan organisasi. Misi merupakan pernyataan yang menjelaskan alasan pokok berdirinya organisasi dan membantu mengesahkan fungsinya dalam masyarakat atau lingkungan. Sementara, tujuan adalah akhir perjalanan yang dicari organisasi untuk dicapai melalui eksistensi dan operasinya serta merupakan sasaran yang lebih nyata dari pada pernyataan misi.
Turunan berikutnya dari strategi induk adalah penetapan tolok ukur strategis dan operasional bagi perjalanan organisasi. Tolok ukur strategis lebih bersifat kualitatif dan bersandarkan pada nilai-nilai yang dianut organisasi. Sementara, tolok ukur operasional lebih bersifat kuantitatif dan didasarkan atas kesepakatan hasil perhitungan dan analisis bersama dalam menjalankan aktivitas organisasi.
Berdasarkan syariah, maka visi, misi dan tujuan suatu organisasi hendaknya menggambarkan orientasi manajemen yang berbasis syariah. Karena itu, maka visi organisasi dakwah adalah menjadikan organisasi sebagai wahana dakwah bagi para pengelolanya dalam meraih keridloan Allah SWT. Misi dan tujuannya bahwa keberadaan organisasi tidak lain adalah untuk mewujudkan SDM yang memiliki kematangan keperibadian (syakhsiyyah) Islam, melalui pola fikir dan pola sikap yang Islami, serta untuk menyeru umat agar bangkit untuk kembali ke haribaan kehidupan Islami.
Atas dasar syariah pula, maka tolok ukur strategis bagi aktivitas organisasi adalah syariah itu sendiri. Hal ini sebagaimana kaidah ushul yang menyatakan “al aslu fil af’al attaqoyyadu bil hukmisy syar’i”, yakni hukum asal suatu perbuatan adalah terikat pada hukum syara yang lima, yakni wajib, sunah, mubah, makruh atau haram.
Adapun tolok ukur operasional – sesuai dengan sifatnya, maka disepakati sesuai dengan kebutuhan organisasi yang berkaitan dengan teknis penyelenggaraan kegiatan-kegiatannya. Tolok ukur tersebut dapat diformulasikan sebagai SMART, yakni bahwa sebuah program/kegiatan haruslah Specific (bersifat unique, khas), Measurable (dapat diukur/kuantitatif), Attainable (dapat dicapai), Realistic (realistis), dan Timely basis (berorientasi waktu).
Strategi induk sebagaimana tersebut di atas akan meluruskan orientasi manajemen yang bervisi sekuler agar sejalan dengan visi dan misi penciptaan manusia, terlebih bila ia adalah organisasi dakwah.
Orientasi syariah ini mengandung empat komponen, sebagai berikut:
•1. Target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri.
Tujuan organisasi harus tidak hanya untuk mencari profit (qimah madiyah) setinggi-tingginya. Namun juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit kepada internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan).
Benefit yang dimaksudkan tidaklah semata memberikan manfaat kebendaan, melainkan juga dapat bersifat non materi. Islam memandang bahwa tujuan suatu amal perbuatan tidak hanya berorientasi pada qimah madiyah. Masih ada tiga orientasi lainnya, yakni qimah insaniyah, qimah khuluqiyah dan qimah ruhiyah. Dengan orientasi qimah insaniyah, berarti pengelola organisasi juga dapat memberikan manfaat yang bersifat kemanusiaan melalui kesempatan kerja, bantuan sosial (infaq, shadaqah, dll.), dan bantuan lainnya. Qimah khuluqiyah mengandung pengertian bahwa akhlaqul karimah menjadi suatu kemestian yang harus muncul dalam setiap aktivitas pengelola organisasi. Sementara, qimah ruhiyah berarti perbuatan tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah. Disamping setiap beramal seorang muslim harus berusaha meraih qimah yang dituju, upaya yang dilakukan itu haruslah sesuai dengan aturan Islam dan dilakukan dengan menyatukan antara materi dan amal. Atau dengan kata lain, ketika melakukan suatu aktivitas harus disertai dengan kesadaran hubungannya dengan Allah. Inilah yang dimaksud dengan bahwa setiap perbuatan muslim adalah ibadah.
•2.  Pertumbuhan.
Jika profit dan benefit telah diraih sesuai target, maka organisasi akan mengupayakan pertumbuhannya. Target profit dan benefit organisasi akan terus diupayakan agar tumbuh meningkat setiap tahunnya, tidak stagnan apalagi tersungkur jadi minus.
• 3. Keberlangsungan.
Belum sempurna orientasi manajemen suatu perusahaan bila hanya berhenti pada pencapaian target profit-benefit dan pertumbuhan. Karena itu perlu diupayakan terus agar pertumbuhan profit dan benefit yang telah diraih dapat dijaga keberlangsungannya.
•4.  Keberkahan
Faktor keberkahan atau orientasi untuk menggapai ridla Allah SWT merupakan puncak kebahagiaan hidup manusia. Bila ini tercapai, maka berarti menandakan terpenuhinya dua syarat diterimanya amal manusia, yakni adanya elemen niat ikhlas dan cara yang sesuai dengan tuntunan syariah (QS. Al Mulk: 2-3). Karenanya, para pengelola organisasi dakwah perlu – dan sudah semestinya – mematok orientasi keberkahan agar pencapaian segala orientasi di atas senantiasa berada di dalam koridor syariah yang menjamin diraihnya keridloan Allah SWT.
3. TIGA ASPEK PENTING DALAM PENGORGANISASIAN
Pengorganisasian mengandung pengertian sebagai proses penetapan struktur peran-peran melalui penentuan aktivitas-aktivitas yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dan bagian-bagiannya, pengelompokkan aktivitas-aktivitas, penugasan kelompok-kelompok aktivitas kepada manajer-manajer, pendelegasian wewenang untuk melaksanakannya, pengkoordinasian hubungan-hubungan wewenang dan informasi, baik horisontal maupun vertikal dalam struktur organisasi.
Agar keberadaan organisasi menjadi berarti bagi SDM internalnya dan juga masyarakat di lingkungannya, maka peran organisasi haruslah mencakup tiga hal berikut.
Pertama, harus memiliki tujuan yang dapat dibuktikan.
Kedua, konsep kewenangan beserta aktivitas yang terlibat harus jelas.
Ketiga, memiliki batasan kebijakan organisasi yang jelas dan dapat dimengerti oleh seluruh SDM-nya.
Pada tataran implementasinya, ketiga hal tersebut tercermin pada aspek struktur, tugas dan wewenang serta hubungan anggota.
3.1. Aspek Struktur
Implementasi syariah pada aspek ini terutama pada alokasi SDM yang berkorelasi dengan faktor profesionalisme serta aqad (perjanjian) pekerjaan/tugas.
Selain memerintahkan bekerja, Islam juga memberikan tuntunan kepada setiap Muslim agar dalam bekerja di bidang apapun haruslah mempunyai sikap yang profesional. Dalam buku Program Peningkatan Kontrol Diri, SEM Institute (2000), dinyatakan bahwa Profesionalime menurut pandangan Islam dicirikan oleh tiga hal, yakni ;
(1) kafa`ah, yaitu adanya keahlian dan kecakapan dalam bidang pekerjaan yang dilakukan;
(2) himmatul ‘amal, yakni memiliki semangat atau etos kerja yang tinggi; dan
(3) amanah, yakni terpercaya dan bertanggungjawab dalam menjalankan berbagai tugas dan kewajibannya serta tidak berkhianat terhadap jabatan yang didudukinya.
Untuk mewujudkan SDM muslim yang profesional, Islam telah memberikan tuntunan yang yang sangat jelas. Kafa’ah atau keahlian dan kecakapan diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman; (2) Himmatu al-‘amal atau etos kerja yang tinggi diraih dengan jalan menjadikan motivasi ibadah sebagai pendorong utama di samping motivasi penghargaan (reward) dan hukuman (punishment); serta (3) Amanah atau sifat terpercaya dan bertanggungjawab diperoleh dengan menjadikan tauhid sebagai unsur pendorong dan pengontrol utama tingkah laku.
3.2. Aspek Tugas dan Wewenang
Implementasi syariah pada aspek ini terutama ditekankan pada kejelasan tugas dan wewenang masing-masing bidang yang diterima oleh para SDM pelaksana berdasarkan kesanggupan dan kemampuan masing-masing sesuai dengan aqad pekerjaan tersebut.
3.3. Aspek Hubungan Anggota
Implementasi syariah pada aspek ini dapat dilihat pada penetapan budaya organisasi bahwa setiap interaksi antar SDM adalah hubungan muamalah yang selalu mengacu pada amar ma’ruf dan nahi munkar. Interaksi antar anggota organisasi haruslah terjaga dalam suasana kebersamaan team (together everyone achieve more). Hal ini dimaksudkan agar tetap kondusif dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Suatu tim dimana seluruh anggotanya bersinergi dalam kesamaan visi, misi dan tujuan organisasi. Suasana tersebut dapat diringkas dalam formula three in one (3 in 1), yakni kebersamaan seluruh anggota dalam kesatuan bingkai thinking-afkar (ide/pemikiran), feeling-masyair (perasaan) dan rule of game-nidzam (aturan bermain). Tentu saja interaksi yang terjadi berada dalam koridor amar ma’ruf dan nahi munkar.
Guna memastikan bahwa tujuan organisasi di semua tingkat dan rencana yang didesain untuk mencapainya, sedang dilaksanakan dan terjaga harmoninya, maka. dibutuhkan tiga pilar harmoni organisasi, yaitu:
 Ketaqwaan individu.
Seluruh personel SDM organisasi dipastikan dan dibina agar menjadi SDM yang bertaqwa.
 Kontrol anggota.
Dengan suasana organisasi yang mencerminkan formula TEAM, maka proses keberlangsungan organisasi selalu akan mendapatkan pengawalan dari para SDM-nya agar sesuai dengan arah yang telah ditetapkan.
Penerapan (supremasi) aturan.
Organisasi ditegakkan dengan aturan main yang jelas dan transparan serta – tentu saja – tidak bertentangan dengan syariah.
http://n21imuth.wordpress.com/2011/04/12/manajemen-organisasi-dakwah-beberapa-catatan/


BAB V
Manajemen Sumber Daya Insani


Sumber Daya Insani Ekonomi Syariah

Kajian tentang sumber daya insani akan dimulai dari manusia sebagai makhluk yang sengaja diciptakan oleh Allah SWT. Manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk (Al Quran Surat At Tiin(95) ayat 4). Manusia mempunyai unsur yang lebih lengkap, selain dibekali dengan nafsu juga diberikan akal untuk berpikir, sehingga ia bebas menentukan jalan mana yang akan dipilih, jalan taqwa atau jalan fujur yang diilhamkan kepadanya. Potensi lain yang ada pada manusia adalah rasio/pemikiran, kalbu/hati, ruh/jiwa dan jasmani/raga. Manusia diciptakan oleh Allah adalah untuk mengabdi kepadanya, sebagaimana tercantum dalam Al Quran Surat Adz Dzariyaat (51) ayat 56. Mengabdi artinya menghambakan diri kepada Allah. Penghambaan itu dilakukan dengan ibadah. Ibadah seperti kita ketahui ada ibadah mahdhah yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah dan ibadah ‘ammah atau muamalah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungannya. Abdi dan ibadah dalam bahasa Arab berasal dari kata yang serumpun.
Dalam Surat Al Baqarah (2) ayat 30, Allah menyebutkan, “Sesungguhnya Aku hendak menjadi seorang khalifah di muka bumi”. Jadi dibumi ini manusia ditugaskan menjadi khalifah-Nya. Khalifah sendiri berarti wakil atau pengganti. Karena tugasnya yang demikian, maka manusia sebagai wakil Allah, tidak diperbolehkan berbuat kerusakan di muka bumi ini. Tugas sebagai khalifah ini merupakan ujian bagi manusia, apakah ia berhasil atau gagal dalam mengemban misinya (Al Quran Surat Al An’am (6) ayat 165). Manusia (al insan) sebagai khalifah Allah dimuka bumi diberi tanggungjawab dan amanah untuk memeliharan bumi ini, karena kekhususannya dapat membedakan yang baik dan yang buruk, diberi ilmu, diberi akal dan diberi kemampuan.
Tugas kekhalifahan manusia adalah mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam kehidupan. Tugas ini adalah dalam rangka pengabdian/ibadah. Dalam hal ini manusia dibekali sistem kehidupan dan sarana kehidupan. Sistem kehidupan mengatur segala aspek dari kehidupan manusia yang bersumber dari Al Quran dan Sunnah yang terkenal dengan hukum lima : wajib, sunat, mubah, makruh dan haram. Sedangkan sarana kehidupan adalah segala sarana dan prasarana yang diciptakan Allah untuk kepentingan manusia seperti udara, air, tumbuhan, hewan dan harta benda lainnya. Dalam bahasa lain sebagai khalifah dan hamba, manusia dibekali syariah dan sumber daya.
Menurut ajaran Islam, manusia dikategorikan kedalam tiga golongan, yaitu mukmin, kafir dan munafik. Mukmin adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang kafir adalah orang telah tertutup hatinya untuk menerima kebenaran ajaran Allah. Sedangkan orang munafik adalah orang yang membenarkan ajaran Allah, tetapi tidak mau/enggan melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Orang mukmin, yaitu orang Islam dalam Surat Ali Imran (3) ayat 110 dinyatakan sebagai “khaira ummah”, umat terbaik yang menyuruh kepada hal yang ma’ruf, mencegah dari hal yang munkar dan beriman kepada Allah. Inilah tantangan bagi setiap muslim untuk menjadi umat yang terbaik di muka bumi ini.
Berdasarkan pertimbangan hal-hal diatas kemudian dikembangkan kajian sumber daya manusia dari kacamata Islam, yang lazim diperkenalkan dengan istilah sumber daya insani.
Karakteristik  Sumber Daya Insani
Dalam kajian sumber daya insani, manusia sebagai sumber daya penggerak suatu proses produksi, harus mempunyai karakteristik atau sifat-sifat yang diilhami dari shifatul anbiyaa’ atau sifat-sifat para nabi. Sifat-sifat tersebut dapat disingkat dengan SIFAT pula, yaitu : shiddiq (benar), itqan (profesional), fathanah (cerdas), amanah (jujur/terpercaya) dan tabligh (transparan).
Profesional secara syariah artinya mengelola suatu usaha/kegiatan dengan amanah. Profesionalisme dalam Islam dijelaskan dalam Al Quran Suat Al Qashash ayat 26. Dalam bisnis Islami dua faktor yang menjadi kata kunci adalah kejujuran dan keahlian. Syekh Yususf al Qardhawi dalam bukunya Musykilah al Faqr wa Kaifa ‘alaa Jahara al Islam, mengatakan al amanah/kejujuran merupakan puncak moralitas iman dan karakteristik yang paling menonjol dari orang-orang yang beriman.
Suatu motto dalam manajemen sumber daya manusia adalah menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat atau the right man on the right place. Al Quran dalam Surat Al Anfal ayat 27 menyebutkan tentang penempatan pegawai, bahwa seseorang tidak boleh berkhianat dalam menunaikan amanahnya padahal mereka adalah orang yang mengetahui. Demikian juga dalam Surat An Nisaa’ ayat 58, Allah menyatakan: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
Dalam ayat diatas menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya bermaksud memberikan amanat kepada ahlinya, yaitu orang yang benar-benar mempunyai keahlian dibidang tersebut. Demikian juga hadits Nabi juga menyebutkan tentang penempatan pegawai sebagaimana tercantum sebagai berikut:

“Barangsiapa yang bertugas mengatur urusan kaum muslimin, maka diangkatnya seseorang padahal ia masih melihat orang yang lebih mampu untuk kepentingan umat Islam dari yang diangkatnya itu, maka dengan begitu sungguh ia telah khianat kepada Allah dan Rasul-Nya”.“Apabila suatu jabatan diisi oleh yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”.
Menempatkan seseorang sesuai dengan keahliannya merupakan salah satu karakteristik profesionalisme Islam. Rasulullah dan para sahabat benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai mulia ini dalam kepemimpinannya. Rasulullah memilih Mu’adz bin Jabbal menjadi gubernur di Yaman karena leadership-nya yang baik, kecerdasan dan akhlaknya. Beliau memilih Umar bin Khattab mengatur sedekah karena adil dan tegasnya, memilih Khalid bin Walid menjadi panglima karena kemahirannya berperang, dan memilih Bilal menjaga Baitulmaal karena amanah.
Buya Hamka, ketika menafsirkan ayat 247 pada Surat Al Baqarah dalam karya terbesarnya Tafsir Al Azhar menyebutkan di sini Al Quran telah meninggalkan dua pokok dasar buat memilih orang yang akan menjadi pemimpin, atau memegang puncak kekuasaan. Pertama ilmu, kedua tubuh. Ayat 247 ini menceritakan bagaimana Allah telah mengangkatkan Thalut menjadi raja Bani Israil dengan menganugerahkan kepadanya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa, fil ‘ilmi wal jismi.
Ilmu terpenting yang dimiliki adalah dalam hal cara mempergunakan tenaga. Pemimpin tidak perlu tahu segala cabang ilmu, tetapi harus tahu memilih tenaga yang akan ditugaskan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Dalam sejarah Islam, dapat disimak ketika khalifah Abu Bakar memilih Khalid bin Walid menjadi panglima perang, tetapi Umar bin Khattab tidak menyetujuinya. Sewaktu Umar menggantikan Abu Bakar menjadi khalifah, beliau mengganti panglima perang dengan Abu Ubaidah. Sekian masa berlalu setelah Khalid wafat, mengakulah Umar bahwa Abu Bakar lebih berilmu daripadanya dalam hal memilih orang.
Pokok dasar yang kedua adalah tubuh (jismi). Hal ini berkaitan dengan kesehatan, bentuk tampan, yang menimbulkan simpati. Oleh karena itu banyak ulama fiqh berpendapat bahwa seseorang yang cacat (invalid) jangan dijadikan pemimpin. Sebagai penutup pembahasan tentang sumber daya insani ini, perlu direnungkan kenyataan yang dialami oleh industri bisnis syariah masa kini. Industri syariah adalah salah satu industri yang sangat cepat perkembangannya di Indonesia, terutama industri perbankan syariah. Namun, pesatnya perkembangan tersebut kurang diikuti dengan ketersediaan sumber daya insani yang memadai.
Dr. Syafi’I Antonio M.Ec., seorang praktisi dan akademisi ekonomi syariah Indonesia dalam suatu kesempatan menyatakan bahwa tantangan bank syariah untuk mengejar pertumbuhan dan variasi produk adalah ketersediaan sumber daya insani yang kompeten. Kompeten dalam hal ini adalah memahami perbankan secara teknis maupun syariah. Kenyataan di lapangan yang dihadapi adalah sumber daya insani perbankan syariah mayoritas adalah para bankir profesional dengan latar belakang pendidikan umum lalu dididik mengenai sisi syariah dalam waktu singkat. Sehingga tidak sepenuhnya mendapatkan dari sisi penghayatan dan semangat, selanjutnya mereka mereka kesulitan mengembangkan produk karena memang memerlukan komptensi khusus.
Sumber : http://blogs.unpad.ac.id/willson/?p=19



BAB VI
kepemimpinan menurut islam

menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut,karena kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu.
Dalam islam sudah ada aturan-aturan yang berkaitan dengan hal tersebut,diantaranya sebagai berikut:
1. Niat yang Lurus
Hendaklah saat menerima suatu tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan.Lalu iringi hal itu dengan mengharapkan keridhaan-Nya saja. Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
2. Berpegang pada Hukum Allah.
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah berfirman,”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49).
Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dicopot dari jabatannya.
3. Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,
”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin.Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
4. Memutuskan Perkara Dengan Adil
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
5. Lemah Lembut
Doa Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.
6. Tidak Menutup Diri Saat Diperlukan Rakyat.
Hendaklah selalu membuka pintu untuk setiap pengaduan dan permasalahan rakyat.Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin atau pemerintah yang menutup pintunya terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).
7. Mencari Pemimpin yang Baik
Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan seorang khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan pejabat (pembantu).Yaitu pejabat yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pejabat yang menyuruh kepada kemungkaran dan mendorongnya ke sana.Maka orang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).
8. Menasehati rakyat
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”
9. Laki-Laki
Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk kepemimpinan. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Tidak akan beruntung kaum yang dipimpim oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu Bakarah Radhiyallahu’anhu).
10. Tidak Menerima Hadiah
Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati.Oleh karena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya.Rasulullah bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).



11. Tidak Meragukan dan Memata-matai Rakyat.
Rasulullah bersabda,” Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim).

 Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan
 Dalam Islam pemimpin disebut dengan Khalifah. Khalifah (Ar.: Khaliifah adalah wakil, pengganti atau duta). Sedangkan secara itilah Khaliifah adalah orang yang bertugas menegakkan syariat Allah SWT , memimpin kaum muslimin untuk menyempurnakan penyebaran syariat Islam dan memberlakukan kepada seluruh kaum muslimin secara wajib, sebagai pengganti kepemimpinan Rasulullah SAW .
         Dari pengertian diatas jelas bahwa pemimpin menurut pandangan Islam tidak hanya menjalankan roda pemerintahan begitu saja namun seorang pemimpin harus mewajibkan kepada rakyatnya untuk melaksanakan apa saja yang terdapat dalam syariat Islam walaupun bukan beragama Islam. Serta mempengaruhi rakyatnya untuk selalu mengikuti apa yang menjadi arahan dari seorang pemempin.
Sedangkan kepemempinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi perilaku seseorang, sehingga apa yang menjadi ajakan dan seruan pemimpin dapat dilaksanakan orang lain guna mencapai tujuan yang menjadi kesepakan antara pemimpin dengan rakyatnya.

Fungsi Kepemimpinan
Kepemimpinan sebagai salah satu menejeman, merupakan hal sangat penting untuk mencapai suatu tujuan organisasi. Dalam kehidupaan organisasi, fungsi fungsi kepemimpinan adalah bagian dari pada tugas utama yang harus dilaksakan, tetapi untuk merumuskan apa yang dimaksud fungsi kepemimpinan, maka kita harus mengetahui apa yang menjadi fungsi dari pada pemempin itu sendiri. Adapun fungsi pemimpin diantaranya adalah sebagai berikut:
· Membangkitkan loyalitas dan kepercayaan bawahan
· Mengkomunikasikan gagasan atau ide kepada orang lain
· Mempengaruhi serta menggerakkan orang lain untuk dapat mengikuti apa yang             menjadi keputusan baik dari keputusan dari pemimpin maupun keputusan bersama
· Menciptakan perubahan secara efektif

Ciri-ciri Kepemimpinan
Adapun ciri-ciri yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam suatu kepemimpinan diantaranya adalah sebagai berikut:
· moral adalah keadaan jiwa perseorangan yang dipengaruhi oleh keadaan disekitarnya, seperti; teman-temannya, komandannya, dan lain sebagainya. Hal ini sangat penting karena sikap yang baik akan berkembang seperti moral yang tinggi ini merupakan jiwa yang tinggi yang mampu memberikan suatu kepercayaan dan keadaan yang menyenangkan dan membuat kita mampu menghadapi kesulitan dan ancaman dari luar.
· Esprit De Corps adalah loyalitas kepada kebanggan akan semangat kesatuan yang diperlihatkan kepada anggota-anggotanya. Hal ini menyangkut pengabdian dan rasa tanggungjawab bagi seorang pemimpin.
· Disiplin adalah sikap atau kelompok yang menjamin adanya kepatuhan terhadap perintah-perintah dan berinisiatif untuk untuk melakukan tindakan yang tegas.
· Kecakapan adalah kemampuan fisik, taktik, dan teknis seseorang untuk melaksanakan tugas atau visi.
B. Prinsip kepemimpinan menurut Islam
Islam dalam mengatur sistem negara hanya mengenal “kedaulatan Tuhan” sebagai kedaulatan tertinggi dalam negara. Ketentuan ini tertuang dalam firman-Nya.


Artinya: “Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al Mulk: 1)
Tetapi yang harus diingat dalam hal ini adalah bahwa pengertian “Kedaulatan Tuhan dalam sistem negara Islam” tidaklah sama dengan teori Theokrasi yang dikenal dunia sekuler. Walaupun teori itu mengatakan bahwa raja yang memerintah itu adalah berkat karunia Tuhan, tetapi bagaimana mempergunakan kekuasaan yang katanya diterima dari Tuhan, tidak ada penjelasan selanjutnya. Dengan kata lain tidak ada ketentuan-ketentuan yang bisa dipedomani dalam mengatur kekuasaan raja itu, yang berasal dari karunia Tuhan.
Beda halnya dengan pengertian “Kedaulatan Tuhan” menurut Islam. Kekuasaan yang diberikan pada para penguasa itu ditentukan cara penggunaannya dan dibatasi dengan peraturan-peraturan yang diberikan Tuhan jelas dan gamblang. Bahkan dalam penerapannya harus mengikuti pola yang pernah dilakukan oleh Rasul-Nya yaitu Muhammad SAW, sebagaimana firmannya
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS, An Nisa: 64)
Sementara prisip adanya pembagian kekuasaan didalam suatu negara antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, seperti yang diajukan oleh Montesquieu sebenarnya telah juga dimiliki oleh sistem negara Islam, hanya dengan nama lain dengan cara kerja yang lain pula. Pembagian kekuasaan  dalam negara Islam terbagi atas; Pertama, Khalifah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, Kedua, Majelis Syuro’ sebagai pemegang kekuasaan legeslatif dan Ketiga, Qadhi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif. Dari ketiga sistem ini merupakan prinsip yang dianut oleh sistem Ulil Amri dan dalam praktek ketatanegaraan yang telah dilaksanakan secara utuh oleh pemerinrahan Umar Bin Khatab.
Dalam sistem Ulil Amri, pemegang kekuasaan eksekutif disebut Khalifah, istilah ini berasal dari Al-Qur’an dan Al-Hadits dintaranya.
· QS. Al- Baqarah ayat 30
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.".
· QS. Shad ayat 36
Artinya: “Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Dari kedua ayat diatas menjelaskan bahwa Khalifah mempunyai pengertian “wakil Tuhan di bumi”, yakni Nabi Adam AS dan anak cucunya didalam memimpin muka bumi ini hingga hari Kiamat.
· QS. Al An’am ayat 165
Artinya: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
· QS. Al Fathir ayat 39
Artinya: “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.”
Dari kedua aya diatas arti khalifah mengandung arti bahwa umat Islam sebagai penguasa di muka bumi. Adapun hadits yang menerangkan tentang khalifah yaitu HR. Abu Dawud tentang kahlifah kenabian, tentang sunnah khalifah-khalifah, HR. Muslim tentang dibai’at dua orang khalifah dan HR, Bukhari Muslim tentang khalifah-khalifah sesudah Nabi Muhammad SAW.Berdasarkan ketentuan Al Qur’an dan hadist diatas maka para ulama dan cendikiawan muslim merumuskan pengertian khalifah dintaranya
· Khalifah adalah pemimpin mengenai agama dan dunia.
· Khalifah, Imam dan Imarah adalah tiga pernyataan yang satu pengertianya yaitu pemerintahan keagamaan dan keduniaan.
Adapun prinsip yang paling utama bagi seorang pemimpin menurut Islam adalah sebagaiman yang diungkapkan dalam Firman-Nya
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At tahrim: 6)
Jelaslah bahwa seorang pemimpin tidak hanya memikirkan untuk dirinya sendiri melainkan bertanggungjawab kepada seluruh umat manusia yang dibawah naungannya. Karena sifat pemimpin itu harus memiliki tiga prinsip yaitu Ayu, Ayem, Ayom

C. Syarat-syarat Pemimpin dan Kepemimpinan Menurut Islam
Khalifah sebagai kepala negara dalam sistem negara Islam tidak identik dengan presiden dalam sistem negara sekuler. Perbedaan itu banyak antara lain kriteria pencalonan khalifah. Adapun kriterianya calon khalifah diantaranya adalah sebagai berikut;
· Tidak mempunyai ambisi untuk menjadi khalifah. Sikap ini bisa dilihat dari cara kampanye yang dilakukannya, baik langsung atau tidak. Calaon yang mempunyai ambisi untuk menjadi khalifah, menurut Ibnu Taimiyyah gugur haknya untuk dipilih. Dan menurut Maudadi haram untuk dipilih. Kesimpulan ini bersumber dari HR. Bukhari dan Muslim tentang seseorang yang meminta jabatan kepada Nabi Muhammad SAW.
· Muslim yang beraqidah murni dan bebas dari syirik.
· Taat beribadah.
· Berakhlak mulia dan hidup sederhana.
· Istiqomah dalam pendirian.
· Mempunyai pengorbanan yang penuh untuk kepentingan Islam.
· Mempunyai ilmu yang luas, khususnya tentang syari’at Islam.
Sumber: http://www.bintan-s.web.id/2011/05/kepemimpinan-menurut-islam.html
http://kepemimpinandalamislam.blogspot.com/2011/03/pemimpin-dan-kepemimpinan-dalam-islam.html


Leave a Reply