Perencanaan Strategis Dan Pengorganisasian Dalam Menejemen Islam
BAB IV
1.
PARADIGMA MANAJEMEN DAN ORGANISASI
Manajemen berasal dari bahasa Inggris: management dengan kata kerja to
manage yang secara umum berarti mengurusi. Dalam arti khusus manajemen dipakai
bagi pimpinan dan kepemimpinan, yaitu orang-orang yang melakukan kegiatan
memimpin. Manajemen kemudian diartikan sebagai suatu rentetan langkah yang
terpadu untuk mengembangkan suatu organisasi sebagai suatu sistem yang bersifat
sosio-ekonomi-teknis. Definisi lebih rinci disampaikan Stonner dalam Management
(1978), yaitu sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin dan
mengawasi usaha-usaha dari anggota organisasi dan dari sumber-sumber organisasi
lainnya untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Dari pengertian tersebut di atas, maka organisasi didudukkan sebagai
suatu sistem yang bersifat sosio-ekonomi-teknis. Sistem adalah suatu
keseluruhan dinamis yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan secara
organik. Dinamis berarti bergerak, berkembang ke arah suatu tujuan. Sosio
(sosial) berarti yang bergerak di dalam dan yang menggerakkan sistem itu ialah
manusia. Ekonomi berarti kegiatan dalam sistem bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Teknis berarti dalam kegiatan dipakai harta, alat-alat dan
cara-cara tertentu.
Sementara kepanitian adalah sebuah kelompok orang sebagai suatu
kelompok yang diserahi suatu masalah untuk dipecahkan. Kepanitiaan dibentuk
sebagai bagian dari struktur organisasi dengan tugas dan wewenang yang
didelegasikan secara spesifik. Keuntungan untuk mendapatkan pemikiran dan
pertimbangan kelompok, penghindaran sentralisasi kewenangan pada satu pihak,
motivasi partisipasi, kemudahan koordinasi dan distribusi tugas dan informasi
adalah beberapa alasan terbentuknya kepanitiaan.
Perspektif Islam meluruskan pandangan ini. Islam memandang bahwa
keberadaan manajemen sebagai suatu kebutuhan yang tak terelakkan dalam
memudahkan implementasi Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
Implementasi nilai-nilai Islam berwujud pada difungsikannya Islam sebagai
kaidah berpikir dan kaidah amal dalam kehidupan. Sebagai kaidah berpikir,
syariah difungsikan sebagai asas dan landasan pola pikir. Sedangkan sebagai
kaidah amal, syariah difungsikan sebagai tolok ukur perbuatan. Jadi, manajemen
diperlukan untuk mengelola berbagai sumberdaya, seperti sarana dan prasarana,
waktu, SDM, metode dan lainnya dalam rangka pencapaian tujuan implementasi
nilai-nilai Islam secara efektif dan efisien.
Aplikasi manajemen menyentuh semua bidang kehidupan (pemerintahan,
industri, perdagangan, pertanian, dll) beserta seluruh aspeknya dari hulu
hingga hilir. Selain sebagai tool, manajemen memiliki dua unsur lainnya, yakni
subyek pelaku dan obyek tindakan. Subyek pelaku manajemen tidak lain adalah
manajer itu sendiri, apakah itu pimpinan organisasi, kepala departemen,
koordinator tim, ketua panitia atau lainnya. Sedangkan obyek tindak manajemen
terdiri atas organisasi, SDM, dana, operasi/produksi, pemasaran, waktu dan
obyek lainnya. Disamping itu, manajemen juga memiliki empat fungsi standar,
yaitu fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan
(actuating) dan pengawasan (controlling).
Sementara berkenaan dengan organisasi, Islam memandangnya sebagai suatu
wadah sebagaimana komunitas dan masyarakat yang lebih luas yang hanya akan
terjadi bilamana terdapat interaksi di antara anggotanya. Interaksi ini pun
hanya dimungkinkan bila terdapat kesamaan maslahat di dalamnya. Interaksi antar
anggota ini ditandai oleh tiga unsur, yakni adanya kesamaan pemikiran dan
perasaan tentang maslahat tersebut yang dibingkai dalam satu koridor aturan
yang sama. Dengan berbasis pada perspektif Islam, maka interaksi yang berjalan
mestilah interaksi yang Islami. Interaksi yang didalamnya terjalin kesamaan
pemikiran, perasaan dalam satu aturan main yang sama, yakni Islam. Bila tidak,
maka keterasingan antar elemen anggota akan menjadi suatu keniscayaan.
Dalam organisasi dakwah, maslahat yang dimaksud adalah keberlangsungan
dakwah itu sendiri. Guna mewujudkan interaksi yang tepat dan optimal, maka
maslahat ini memberikan prasyarat yang harus dimiliki oleh sebuah organisasi
dakwah. Prasyarat itu – sebagaimana disarikan dari Syekh Taqiyuddin An Nabahani
dalam Kitab Takatul Hizby (1954) – adalah bahwa;
(1)
organisasi dakwah haruslah berdiri
atas dan dibentuk untuk mengusung satu fikroh yang jernih dan jelas, yakni
Islam (QS. An Nahl: 125);
(2)
metodologi dakwah yang diterapkan
organisasi dakwah mestilah sesuai dengan thoriqoh dakwah Rasulullah SAW;
(3)
sejalan dengan dakwah, maka sifat
keanggotaannya pun haruslah terbuka hanya bagi umat Islam; dan
(4)
ikatan antar anggota haruslah dibangun
atas dasar mabda Islam.
2.
STRATEGI INDUK DAN ORIENTASI MANAJEMEN SYARIAH PADA ORGANISASI
Keberadaan dan sekaligus performansi organisasi sangat lekat dan
identik dengan strategi induknya, yakni visi, misi dan tujuan. Karena itu,
penerapan syariah dalam perspektif perencanaan strategis nampak jelas pada isi
strategi induk ini. Strategi Induk merupakan rencana strategis untuk melihat
sisi organisasi kita 5, 10 atau 20 tahun (lazimnya untuk 5 tahun) mendatang.
Berpikir strategis akan membawa cakrawala atau wawasan jauh ke depan dan tidak
terjebak pada suasana hari ini atau hari kemarin. Rencana jangka panjang ini
sangat diperlukan sebagai barometer atau penunjuk arah aksi organisasi yang
dikaitkan dengan kemampuan serta peluang yang ada.
Visi adalah cara pandang yang menyeluruh dan futuristik terhadap
keberadaan organisasi. Misi merupakan pernyataan yang menjelaskan alasan pokok
berdirinya organisasi dan membantu mengesahkan fungsinya dalam masyarakat atau
lingkungan. Sementara, tujuan adalah akhir perjalanan yang dicari organisasi
untuk dicapai melalui eksistensi dan operasinya serta merupakan sasaran yang
lebih nyata dari pada pernyataan misi.
Turunan berikutnya dari strategi induk adalah penetapan tolok ukur
strategis dan operasional bagi perjalanan organisasi. Tolok ukur strategis
lebih bersifat kualitatif dan bersandarkan pada nilai-nilai yang dianut
organisasi. Sementara, tolok ukur operasional lebih bersifat kuantitatif dan
didasarkan atas kesepakatan hasil perhitungan dan analisis bersama dalam menjalankan
aktivitas organisasi.
Berdasarkan syariah, maka visi, misi dan tujuan suatu organisasi
hendaknya menggambarkan orientasi manajemen yang berbasis syariah. Karena itu,
maka visi organisasi dakwah adalah menjadikan organisasi sebagai wahana dakwah
bagi para pengelolanya dalam meraih keridloan Allah SWT. Misi dan tujuannya
bahwa keberadaan organisasi tidak lain adalah untuk mewujudkan SDM yang
memiliki kematangan keperibadian (syakhsiyyah) Islam, melalui pola fikir dan
pola sikap yang Islami, serta untuk menyeru umat agar bangkit untuk kembali ke
haribaan kehidupan Islami.
Atas dasar syariah pula, maka tolok ukur strategis bagi aktivitas
organisasi adalah syariah itu sendiri. Hal ini sebagaimana kaidah ushul yang
menyatakan “al aslu fil af’al attaqoyyadu bil hukmisy syar’i”, yakni
hukum asal suatu perbuatan adalah terikat pada hukum syara yang lima, yakni
wajib, sunah, mubah, makruh atau haram.
Adapun tolok ukur operasional – sesuai dengan sifatnya, maka disepakati
sesuai dengan kebutuhan organisasi yang berkaitan dengan teknis penyelenggaraan
kegiatan-kegiatannya. Tolok ukur tersebut dapat diformulasikan sebagai SMART,
yakni bahwa sebuah program/kegiatan haruslah Specific (bersifat unique, khas),
Measurable (dapat diukur/kuantitatif), Attainable (dapat dicapai), Realistic
(realistis), dan Timely basis (berorientasi waktu).
Strategi induk sebagaimana tersebut di atas akan meluruskan orientasi
manajemen yang bervisi sekuler agar sejalan dengan visi dan misi penciptaan
manusia, terlebih bila ia adalah organisasi dakwah.
Orientasi syariah
ini mengandung empat komponen, sebagai berikut:
•1. Target
hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri.
Tujuan organisasi harus tidak hanya untuk mencari profit (qimah
madiyah) setinggi-tingginya. Namun juga harus dapat memperoleh dan memberikan
benefit kepada internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan).
Benefit yang dimaksudkan tidaklah semata memberikan manfaat kebendaan,
melainkan juga dapat bersifat non materi. Islam memandang bahwa tujuan suatu
amal perbuatan tidak hanya berorientasi pada qimah madiyah. Masih ada tiga
orientasi lainnya, yakni qimah insaniyah, qimah khuluqiyah dan qimah ruhiyah.
Dengan orientasi qimah insaniyah, berarti pengelola organisasi juga dapat
memberikan manfaat yang bersifat kemanusiaan melalui kesempatan kerja, bantuan
sosial (infaq, shadaqah, dll.), dan bantuan lainnya. Qimah khuluqiyah
mengandung pengertian bahwa akhlaqul karimah menjadi suatu kemestian yang harus
muncul dalam setiap aktivitas pengelola organisasi. Sementara, qimah ruhiyah
berarti perbuatan tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah. Disamping
setiap beramal seorang muslim harus berusaha meraih qimah yang dituju, upaya
yang dilakukan itu haruslah sesuai dengan aturan Islam dan dilakukan dengan
menyatukan antara materi dan amal. Atau dengan kata lain, ketika melakukan
suatu aktivitas harus disertai dengan kesadaran hubungannya dengan Allah.
Inilah yang dimaksud dengan bahwa setiap perbuatan muslim adalah ibadah.
•2. Pertumbuhan.
Jika profit dan benefit telah diraih sesuai target, maka organisasi
akan mengupayakan pertumbuhannya. Target profit dan benefit organisasi akan
terus diupayakan agar tumbuh meningkat setiap tahunnya, tidak stagnan apalagi
tersungkur jadi minus.
• 3.
Keberlangsungan.
Belum sempurna orientasi manajemen suatu perusahaan bila hanya berhenti
pada pencapaian target profit-benefit dan pertumbuhan. Karena itu perlu
diupayakan terus agar pertumbuhan profit dan benefit yang telah diraih dapat
dijaga keberlangsungannya.
•4. Keberkahan
Faktor keberkahan atau orientasi untuk menggapai ridla Allah SWT
merupakan puncak kebahagiaan hidup manusia. Bila ini tercapai, maka berarti
menandakan terpenuhinya dua syarat diterimanya amal manusia, yakni adanya
elemen niat ikhlas dan cara yang sesuai dengan tuntunan syariah (QS. Al Mulk:
2-3). Karenanya, para pengelola organisasi dakwah perlu – dan sudah semestinya
– mematok orientasi keberkahan agar pencapaian segala orientasi di atas
senantiasa berada di dalam koridor syariah yang menjamin diraihnya keridloan
Allah SWT.
3. TIGA
ASPEK PENTING DALAM PENGORGANISASIAN
Pengorganisasian mengandung pengertian sebagai proses penetapan
struktur peran-peran melalui penentuan aktivitas-aktivitas yang dibutuhkan
untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dan bagian-bagiannya, pengelompokkan
aktivitas-aktivitas, penugasan kelompok-kelompok aktivitas kepada
manajer-manajer, pendelegasian wewenang untuk melaksanakannya, pengkoordinasian
hubungan-hubungan wewenang dan informasi, baik horisontal maupun vertikal dalam
struktur organisasi.
Agar keberadaan organisasi menjadi berarti bagi SDM internalnya dan
juga masyarakat di lingkungannya, maka peran organisasi haruslah mencakup tiga
hal berikut.
Pertama, harus memiliki tujuan yang dapat dibuktikan.
Kedua, konsep kewenangan beserta aktivitas yang terlibat harus jelas.
Ketiga, memiliki batasan kebijakan organisasi yang jelas
dan dapat dimengerti oleh seluruh SDM-nya.
Pada tataran implementasinya, ketiga hal tersebut tercermin pada aspek
struktur, tugas dan wewenang serta hubungan anggota.
3.1. Aspek
Struktur
Implementasi syariah pada aspek ini terutama pada alokasi SDM yang
berkorelasi dengan faktor profesionalisme serta aqad (perjanjian)
pekerjaan/tugas.
Selain memerintahkan bekerja, Islam juga memberikan tuntunan kepada
setiap Muslim agar dalam bekerja di bidang apapun haruslah mempunyai sikap yang
profesional. Dalam buku Program Peningkatan Kontrol Diri, SEM Institute (2000),
dinyatakan bahwa Profesionalime menurut pandangan Islam dicirikan oleh tiga
hal, yakni ;
(1) kafa`ah, yaitu
adanya keahlian dan kecakapan dalam bidang pekerjaan yang dilakukan;
(2) himmatul ‘amal, yakni memiliki semangat atau etos kerja yang tinggi; dan
(3) amanah, yakni terpercaya dan bertanggungjawab dalam menjalankan berbagai tugas dan kewajibannya serta tidak berkhianat terhadap jabatan yang didudukinya.
(2) himmatul ‘amal, yakni memiliki semangat atau etos kerja yang tinggi; dan
(3) amanah, yakni terpercaya dan bertanggungjawab dalam menjalankan berbagai tugas dan kewajibannya serta tidak berkhianat terhadap jabatan yang didudukinya.
Untuk mewujudkan SDM muslim yang profesional, Islam telah memberikan
tuntunan yang yang sangat jelas. Kafa’ah atau keahlian dan kecakapan diperoleh
melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman; (2) Himmatu al-‘amal atau etos
kerja yang tinggi diraih dengan jalan menjadikan motivasi ibadah sebagai
pendorong utama di samping motivasi penghargaan (reward) dan hukuman
(punishment); serta (3) Amanah atau sifat terpercaya dan bertanggungjawab
diperoleh dengan menjadikan tauhid sebagai unsur pendorong dan pengontrol utama
tingkah laku.
3.2. Aspek
Tugas dan Wewenang
Implementasi syariah pada aspek ini terutama ditekankan pada kejelasan
tugas dan wewenang masing-masing bidang yang diterima oleh para SDM pelaksana
berdasarkan kesanggupan dan kemampuan masing-masing sesuai dengan aqad
pekerjaan tersebut.
3.3. Aspek
Hubungan Anggota
Implementasi syariah pada aspek ini dapat dilihat pada penetapan budaya
organisasi bahwa setiap interaksi antar SDM adalah hubungan muamalah yang selalu
mengacu pada amar ma’ruf dan nahi munkar. Interaksi antar anggota organisasi
haruslah terjaga dalam suasana kebersamaan team (together everyone achieve
more). Hal ini dimaksudkan agar tetap kondusif dalam rangka pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan. Suatu tim dimana seluruh anggotanya bersinergi dalam
kesamaan visi, misi dan tujuan organisasi. Suasana tersebut dapat diringkas
dalam formula three in one (3 in 1), yakni kebersamaan seluruh anggota dalam
kesatuan bingkai thinking-afkar (ide/pemikiran), feeling-masyair (perasaan) dan
rule of game-nidzam (aturan bermain). Tentu saja interaksi yang terjadi berada
dalam koridor amar ma’ruf dan nahi munkar.
Guna memastikan bahwa tujuan organisasi di semua tingkat dan rencana
yang didesain untuk mencapainya, sedang dilaksanakan dan terjaga harmoninya,
maka. dibutuhkan tiga pilar harmoni organisasi, yaitu:
Ketaqwaan individu.
Seluruh personel SDM organisasi dipastikan dan dibina agar menjadi SDM
yang bertaqwa.
Kontrol anggota.
Dengan suasana organisasi yang mencerminkan formula TEAM, maka proses
keberlangsungan organisasi selalu akan mendapatkan pengawalan dari para SDM-nya
agar sesuai dengan arah yang telah ditetapkan.
Penerapan
(supremasi) aturan.
Organisasi ditegakkan dengan aturan main yang jelas dan transparan
serta – tentu saja – tidak bertentangan dengan syariah.
http://n21imuth.wordpress.com/2011/04/12/manajemen-organisasi-dakwah-beberapa-catatan/
BAB V
Manajemen Sumber Daya Insani
Sumber Daya Insani Ekonomi Syariah
Kajian tentang sumber daya insani akan dimulai dari manusia sebagai
makhluk yang sengaja diciptakan oleh Allah SWT. Manusia diciptakan dengan
sebaik-baik bentuk (Al Quran Surat At Tiin(95) ayat 4). Manusia mempunyai unsur
yang lebih lengkap, selain dibekali dengan nafsu juga diberikan akal untuk
berpikir, sehingga ia bebas menentukan jalan mana yang akan dipilih, jalan
taqwa atau jalan fujur yang diilhamkan kepadanya. Potensi lain yang ada pada
manusia adalah rasio/pemikiran, kalbu/hati, ruh/jiwa dan jasmani/raga. Manusia
diciptakan oleh Allah adalah untuk mengabdi kepadanya, sebagaimana tercantum
dalam Al Quran Surat Adz Dzariyaat (51) ayat 56. Mengabdi artinya menghambakan
diri kepada Allah. Penghambaan itu dilakukan dengan ibadah. Ibadah seperti kita
ketahui ada ibadah mahdhah yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah dan ibadah
‘ammah atau muamalah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan
lingkungannya. Abdi dan ibadah dalam bahasa Arab berasal dari kata yang
serumpun.
Dalam Surat Al Baqarah (2) ayat 30, Allah menyebutkan, “Sesungguhnya
Aku hendak menjadi seorang khalifah di muka bumi”. Jadi dibumi ini manusia
ditugaskan menjadi khalifah-Nya. Khalifah sendiri berarti wakil atau pengganti.
Karena tugasnya yang demikian, maka manusia sebagai wakil Allah, tidak
diperbolehkan berbuat kerusakan di muka bumi ini. Tugas sebagai khalifah ini
merupakan ujian bagi manusia, apakah ia berhasil atau gagal dalam mengemban
misinya (Al Quran Surat Al An’am (6) ayat 165). Manusia (al insan) sebagai
khalifah Allah dimuka bumi diberi tanggungjawab dan amanah untuk memeliharan
bumi ini, karena kekhususannya dapat membedakan yang baik dan yang buruk,
diberi ilmu, diberi akal dan diberi kemampuan.
Tugas kekhalifahan manusia adalah mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan dalam kehidupan. Tugas ini adalah dalam rangka pengabdian/ibadah.
Dalam hal ini manusia dibekali sistem kehidupan dan sarana kehidupan. Sistem
kehidupan mengatur segala aspek dari kehidupan manusia yang bersumber dari Al
Quran dan Sunnah yang terkenal dengan hukum lima : wajib, sunat, mubah, makruh
dan haram. Sedangkan sarana kehidupan adalah segala sarana dan prasarana yang
diciptakan Allah untuk kepentingan manusia seperti udara, air, tumbuhan, hewan
dan harta benda lainnya. Dalam bahasa lain sebagai khalifah dan hamba, manusia
dibekali syariah dan sumber daya.
Menurut ajaran Islam, manusia dikategorikan kedalam tiga golongan,
yaitu mukmin, kafir dan munafik. Mukmin adalah orang yang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. Orang kafir adalah orang telah tertutup hatinya untuk menerima
kebenaran ajaran Allah. Sedangkan orang munafik adalah orang yang membenarkan
ajaran Allah, tetapi tidak mau/enggan melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Orang mukmin, yaitu orang Islam dalam Surat Ali Imran (3) ayat 110
dinyatakan sebagai “khaira ummah”, umat terbaik yang menyuruh kepada hal yang
ma’ruf, mencegah dari hal yang munkar dan beriman kepada Allah. Inilah
tantangan bagi setiap muslim untuk menjadi umat yang terbaik di muka bumi ini.
Berdasarkan pertimbangan hal-hal diatas kemudian dikembangkan kajian
sumber daya manusia dari kacamata Islam, yang lazim diperkenalkan dengan
istilah sumber daya insani.
Karakteristik Sumber Daya Insani
Dalam kajian sumber daya insani, manusia sebagai sumber daya penggerak
suatu proses produksi, harus mempunyai karakteristik atau sifat-sifat yang
diilhami dari shifatul anbiyaa’ atau sifat-sifat para nabi. Sifat-sifat
tersebut dapat disingkat dengan SIFAT pula, yaitu : shiddiq (benar), itqan
(profesional), fathanah (cerdas), amanah (jujur/terpercaya) dan tabligh
(transparan).
Profesional secara syariah artinya mengelola suatu usaha/kegiatan
dengan amanah. Profesionalisme dalam Islam dijelaskan dalam Al Quran Suat Al Qashash
ayat 26. Dalam bisnis Islami dua faktor yang menjadi kata kunci adalah
kejujuran dan keahlian. Syekh Yususf al Qardhawi dalam bukunya Musykilah al
Faqr wa Kaifa ‘alaa Jahara al Islam, mengatakan al amanah/kejujuran merupakan
puncak moralitas iman dan karakteristik yang paling menonjol dari orang-orang
yang beriman.
Suatu motto dalam manajemen sumber daya manusia adalah menempatkan
orang yang tepat pada posisi yang tepat atau the right man on the right place.
Al Quran dalam Surat Al Anfal ayat 27 menyebutkan tentang penempatan pegawai,
bahwa seseorang tidak boleh berkhianat dalam menunaikan amanahnya padahal
mereka adalah orang yang mengetahui. Demikian juga dalam Surat An Nisaa’ ayat
58, Allah menyatakan: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.
Dalam ayat diatas menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya
bermaksud memberikan amanat kepada ahlinya, yaitu orang yang benar-benar
mempunyai keahlian dibidang tersebut. Demikian juga hadits Nabi juga
menyebutkan tentang penempatan pegawai sebagaimana tercantum sebagai berikut:
“Barangsiapa yang bertugas mengatur urusan kaum muslimin, maka diangkatnya seseorang padahal ia masih melihat orang yang lebih mampu untuk kepentingan umat Islam dari yang diangkatnya itu, maka dengan begitu sungguh ia telah khianat kepada Allah dan Rasul-Nya”.“Apabila suatu jabatan diisi oleh yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”.
Menempatkan seseorang sesuai dengan keahliannya merupakan salah satu
karakteristik profesionalisme Islam. Rasulullah dan para sahabat benar-benar
mengimplementasikan nilai-nilai mulia ini dalam kepemimpinannya. Rasulullah
memilih Mu’adz bin Jabbal menjadi gubernur di Yaman karena leadership-nya yang
baik, kecerdasan dan akhlaknya. Beliau memilih Umar bin Khattab mengatur
sedekah karena adil dan tegasnya, memilih Khalid bin Walid menjadi panglima
karena kemahirannya berperang, dan memilih Bilal menjaga Baitulmaal karena
amanah.
Buya Hamka, ketika menafsirkan ayat 247 pada Surat Al Baqarah dalam
karya terbesarnya Tafsir Al Azhar menyebutkan di sini Al Quran telah
meninggalkan dua pokok dasar buat memilih orang yang akan menjadi pemimpin,
atau memegang puncak kekuasaan. Pertama ilmu, kedua tubuh. Ayat 247 ini
menceritakan bagaimana Allah telah mengangkatkan Thalut menjadi raja Bani
Israil dengan menganugerahkan kepadanya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa,
fil ‘ilmi wal jismi.
Ilmu terpenting yang dimiliki adalah dalam hal cara mempergunakan
tenaga. Pemimpin tidak perlu tahu segala cabang ilmu, tetapi harus tahu memilih
tenaga yang akan ditugaskan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Dalam sejarah
Islam, dapat disimak ketika khalifah Abu Bakar memilih Khalid bin Walid menjadi
panglima perang, tetapi Umar bin Khattab tidak menyetujuinya. Sewaktu Umar
menggantikan Abu Bakar menjadi khalifah, beliau mengganti panglima perang
dengan Abu Ubaidah. Sekian masa berlalu setelah Khalid wafat, mengakulah Umar
bahwa Abu Bakar lebih berilmu daripadanya dalam hal memilih orang.
Pokok dasar yang kedua adalah tubuh (jismi). Hal ini berkaitan dengan
kesehatan, bentuk tampan, yang menimbulkan simpati. Oleh karena itu banyak
ulama fiqh berpendapat bahwa seseorang yang cacat (invalid) jangan dijadikan
pemimpin. Sebagai penutup pembahasan tentang sumber daya insani ini, perlu
direnungkan kenyataan yang dialami oleh industri bisnis syariah masa kini.
Industri syariah adalah salah satu industri yang sangat cepat perkembangannya
di Indonesia, terutama industri perbankan syariah. Namun, pesatnya perkembangan
tersebut kurang diikuti dengan ketersediaan sumber daya insani yang memadai.
Dr. Syafi’I Antonio M.Ec., seorang praktisi dan akademisi ekonomi
syariah Indonesia dalam suatu kesempatan menyatakan bahwa tantangan bank
syariah untuk mengejar pertumbuhan dan variasi produk adalah ketersediaan
sumber daya insani yang kompeten. Kompeten dalam hal ini adalah memahami
perbankan secara teknis maupun syariah. Kenyataan di lapangan yang dihadapi
adalah sumber daya insani perbankan syariah mayoritas adalah para bankir
profesional dengan latar belakang pendidikan umum lalu dididik mengenai sisi
syariah dalam waktu singkat. Sehingga tidak sepenuhnya mendapatkan dari sisi
penghayatan dan semangat, selanjutnya mereka mereka kesulitan mengembangkan
produk karena memang memerlukan komptensi khusus.
Sumber : http://blogs.unpad.ac.id/willson/?p=19
BAB VI
kepemimpinan
menurut islam
menjadi
pemimpin adalah amanah yang harus
dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut,karena kelak
Allah akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu.
Dalam islam sudah ada
aturan-aturan yang berkaitan dengan hal tersebut,diantaranya sebagai berikut:
1. Niat yang Lurus
Hendaklah saat
menerima suatu tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai dengan apa yang
telah Allah perintahkan.Lalu iringi hal itu dengan mengharapkan keridhaan-Nya
saja. Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan
dan kemuliaan.
2. Berpegang pada Hukum Allah.
Ini salah satu kewajiban
utama seorang pemimpin.Allah
berfirman,”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”
(al-Maaidah:49).
Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dicopot dari jabatannya.
Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dicopot dari jabatannya.
3. Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah bersabda
kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,
”Wahai Abdul Rahman bin samurah!
Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin.Sesungguhnya jika kepemimpinan
diberikan kepada kamu karena permintaan,
maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu
diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk
menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
4. Memutuskan Perkara Dengan Adil
Rasulullah
bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang
dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan
oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi
dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
5. Lemah Lembut
Doa Rasullullah,’ Ya
Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka
persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu
perkara umatku lalu ia berlemah lembut
kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.
6. Tidak Menutup Diri Saat Diperlukan
Rakyat.
Hendaklah selalu
membuka pintu untuk setiap pengaduan dan permasalahan rakyat.Rasulullah
bersabda,”Tidaklah seorang
pemimpin atau pemerintah yang menutup
pintunya terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup
pintu-pintu langit terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam
Ahmad dan At-Tirmidzi).
7. Mencari Pemimpin yang Baik
Rasulullah
bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan seorang khalifah
kecuali ada bersama mereka itu golongan pejabat (pembantu).Yaitu pejabat yang
menyuruh kepada kebaikan dan
mendorongnya kesana, dan pejabat yang
menyuruh kepada kemungkaran dan mendorongnya ke sana.Maka orang yang terjaga
adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said
Radhiyallahu’anhu).
8. Menasehati rakyat
Rasulullah
bersabda,”Tidaklah seorang
pemimpin yang memegang urusan kaum
Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali
pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”
9. Laki-Laki
Wanita sebaiknya tidak
memegang tampuk
kepemimpinan. Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam bersabda,”Tidak akan beruntung kaum yang dipimpim oleh seorang wanita
(Riwayat Bukhari dari Abu Bakarah Radhiyallahu’anhu).
10. Tidak Menerima Hadiah
Seorang rakyat yang
memberikan hadiah kepada seorang
pemimpin pasti mempunyai maksud
tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati.Oleh karena itu,
hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya.Rasulullah
bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat
Thabrani).
11. Tidak Meragukan dan Memata-matai
Rakyat.
Rasulullah bersabda,”
Jika seorang pemimpin
menyebarkan keraguan dalam masyarakat,
ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim).
Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan
Dalam Islam pemimpin disebut dengan Khalifah.
Khalifah (Ar.: Khaliifah adalah wakil, pengganti atau duta). Sedangkan secara
itilah Khaliifah adalah orang yang bertugas menegakkan syariat Allah SWT ,
memimpin kaum muslimin untuk menyempurnakan penyebaran syariat Islam dan
memberlakukan kepada seluruh kaum muslimin secara wajib, sebagai pengganti
kepemimpinan Rasulullah SAW .
Dari pengertian diatas jelas bahwa pemimpin menurut pandangan Islam tidak hanya menjalankan roda pemerintahan begitu saja namun seorang pemimpin harus mewajibkan kepada rakyatnya untuk melaksanakan apa saja yang terdapat dalam syariat Islam walaupun bukan beragama Islam. Serta mempengaruhi rakyatnya untuk selalu mengikuti apa yang menjadi arahan dari seorang pemempin.
Dari pengertian diatas jelas bahwa pemimpin menurut pandangan Islam tidak hanya menjalankan roda pemerintahan begitu saja namun seorang pemimpin harus mewajibkan kepada rakyatnya untuk melaksanakan apa saja yang terdapat dalam syariat Islam walaupun bukan beragama Islam. Serta mempengaruhi rakyatnya untuk selalu mengikuti apa yang menjadi arahan dari seorang pemempin.
Sedangkan
kepemempinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar
mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi perilaku seseorang,
sehingga apa yang menjadi ajakan dan seruan pemimpin dapat dilaksanakan orang
lain guna mencapai tujuan yang menjadi kesepakan antara pemimpin dengan
rakyatnya.
Fungsi Kepemimpinan
Kepemimpinan
sebagai salah satu menejeman, merupakan hal sangat penting untuk mencapai suatu
tujuan organisasi. Dalam kehidupaan organisasi, fungsi fungsi kepemimpinan
adalah bagian dari pada tugas utama yang harus dilaksakan, tetapi untuk
merumuskan apa yang dimaksud fungsi kepemimpinan, maka kita harus mengetahui
apa yang menjadi fungsi dari pada pemempin itu sendiri. Adapun fungsi pemimpin
diantaranya adalah sebagai berikut:
· Membangkitkan loyalitas dan kepercayaan bawahan
· Mengkomunikasikan gagasan atau ide kepada orang
lain
· Mempengaruhi serta menggerakkan orang lain untuk
dapat mengikuti apa yang
menjadi keputusan baik dari keputusan dari pemimpin maupun keputusan
bersama
· Menciptakan perubahan secara efektif
· Menciptakan perubahan secara efektif
Ciri-ciri Kepemimpinan
Adapun
ciri-ciri yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam suatu kepemimpinan
diantaranya adalah sebagai berikut:
· moral adalah keadaan jiwa perseorangan yang
dipengaruhi oleh keadaan disekitarnya, seperti; teman-temannya, komandannya, dan
lain sebagainya. Hal ini sangat penting karena sikap yang baik akan berkembang
seperti moral yang tinggi ini merupakan jiwa yang tinggi yang mampu memberikan
suatu kepercayaan dan keadaan yang menyenangkan dan membuat kita mampu
menghadapi kesulitan dan ancaman dari luar.
· Esprit De Corps adalah loyalitas kepada kebanggan
akan semangat kesatuan yang diperlihatkan kepada anggota-anggotanya. Hal ini
menyangkut pengabdian dan rasa tanggungjawab bagi seorang pemimpin.
· Disiplin adalah sikap atau kelompok yang menjamin
adanya kepatuhan terhadap perintah-perintah dan berinisiatif untuk untuk
melakukan tindakan yang tegas.
· Kecakapan adalah kemampuan fisik, taktik, dan
teknis seseorang untuk melaksanakan tugas atau visi.
B.
Prinsip kepemimpinan menurut Islam
Islam
dalam mengatur sistem negara hanya mengenal “kedaulatan Tuhan” sebagai
kedaulatan tertinggi dalam negara. Ketentuan ini tertuang dalam firman-Nya.
Artinya: “Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al Mulk: 1)
Tetapi
yang harus diingat dalam hal ini adalah bahwa pengertian “Kedaulatan Tuhan
dalam sistem negara Islam” tidaklah sama dengan teori Theokrasi yang dikenal
dunia sekuler. Walaupun teori itu mengatakan bahwa raja yang memerintah itu
adalah berkat karunia Tuhan, tetapi bagaimana mempergunakan kekuasaan yang
katanya diterima dari Tuhan, tidak ada penjelasan selanjutnya. Dengan kata lain
tidak ada ketentuan-ketentuan yang bisa dipedomani dalam mengatur kekuasaan
raja itu, yang berasal dari karunia Tuhan.
Beda
halnya dengan pengertian “Kedaulatan Tuhan” menurut Islam. Kekuasaan yang
diberikan pada para penguasa itu ditentukan cara penggunaannya dan dibatasi
dengan peraturan-peraturan yang diberikan Tuhan jelas dan gamblang. Bahkan
dalam penerapannya harus mengikuti pola yang pernah dilakukan oleh Rasul-Nya
yaitu Muhammad SAW, sebagaimana firmannya
Artinya:
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin
Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu,
lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS,
An Nisa: 64)
Sementara
prisip adanya pembagian kekuasaan didalam suatu negara antara eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, seperti yang diajukan oleh Montesquieu sebenarnya
telah juga dimiliki oleh sistem negara Islam, hanya dengan nama lain dengan
cara kerja yang lain pula. Pembagian kekuasaan dalam negara Islam terbagi
atas; Pertama, Khalifah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, Kedua, Majelis
Syuro’ sebagai pemegang kekuasaan legeslatif dan Ketiga, Qadhi sebagai pemegang
kekuasaan yudikatif. Dari ketiga sistem ini merupakan prinsip yang dianut oleh
sistem Ulil Amri dan dalam praktek ketatanegaraan yang telah dilaksanakan
secara utuh oleh pemerinrahan Umar Bin Khatab.
Dalam
sistem Ulil Amri, pemegang kekuasaan eksekutif disebut Khalifah, istilah ini
berasal dari Al-Qur’an dan Al-Hadits dintaranya.
· QS. Al- Baqarah ayat 30
· QS. Al- Baqarah ayat 30
Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.".
· QS. Shad ayat 36
Artinya:
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,
Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Dari
kedua ayat diatas menjelaskan bahwa Khalifah mempunyai pengertian “wakil Tuhan
di bumi”, yakni Nabi Adam AS dan anak cucunya didalam memimpin muka bumi ini
hingga hari Kiamat.
· QS. Al An’am ayat 165
Artinya:
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat
siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
· QS. Al Fathir ayat 39
· QS. Al Fathir ayat 39
Artinya:
“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang
kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran
orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada
sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan
menambah kerugian mereka belaka.”
Dari
kedua aya diatas arti khalifah mengandung arti bahwa umat Islam sebagai
penguasa di muka bumi. Adapun hadits yang menerangkan tentang khalifah yaitu
HR. Abu Dawud tentang kahlifah kenabian, tentang sunnah khalifah-khalifah, HR.
Muslim tentang dibai’at dua orang khalifah dan HR, Bukhari Muslim tentang
khalifah-khalifah sesudah Nabi Muhammad SAW.Berdasarkan ketentuan Al Qur’an dan
hadist diatas maka para ulama dan cendikiawan muslim merumuskan pengertian
khalifah dintaranya
· Khalifah adalah pemimpin mengenai agama dan dunia.
· Khalifah adalah pemimpin mengenai agama dan dunia.
· Khalifah, Imam dan Imarah adalah tiga pernyataan
yang satu pengertianya yaitu pemerintahan keagamaan dan keduniaan.
Adapun
prinsip yang paling utama bagi seorang pemimpin menurut Islam adalah sebagaiman
yang diungkapkan dalam Firman-Nya
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At tahrim:
6)
Jelaslah bahwa seorang pemimpin tidak hanya memikirkan untuk dirinya sendiri melainkan bertanggungjawab kepada seluruh umat manusia yang dibawah naungannya. Karena sifat pemimpin itu harus memiliki tiga prinsip yaitu Ayu, Ayem, Ayom
C. Syarat-syarat Pemimpin dan Kepemimpinan Menurut Islam
Jelaslah bahwa seorang pemimpin tidak hanya memikirkan untuk dirinya sendiri melainkan bertanggungjawab kepada seluruh umat manusia yang dibawah naungannya. Karena sifat pemimpin itu harus memiliki tiga prinsip yaitu Ayu, Ayem, Ayom
C. Syarat-syarat Pemimpin dan Kepemimpinan Menurut Islam
Khalifah
sebagai kepala negara dalam sistem negara Islam tidak identik dengan presiden
dalam sistem negara sekuler. Perbedaan itu banyak antara lain kriteria
pencalonan khalifah. Adapun kriterianya calon khalifah diantaranya adalah sebagai
berikut;
· Tidak mempunyai ambisi untuk menjadi khalifah. Sikap ini bisa dilihat dari cara kampanye yang dilakukannya, baik langsung atau tidak. Calaon yang mempunyai ambisi untuk menjadi khalifah, menurut Ibnu Taimiyyah gugur haknya untuk dipilih. Dan menurut Maudadi haram untuk dipilih. Kesimpulan ini bersumber dari HR. Bukhari dan Muslim tentang seseorang yang meminta jabatan kepada Nabi Muhammad SAW.
· Tidak mempunyai ambisi untuk menjadi khalifah. Sikap ini bisa dilihat dari cara kampanye yang dilakukannya, baik langsung atau tidak. Calaon yang mempunyai ambisi untuk menjadi khalifah, menurut Ibnu Taimiyyah gugur haknya untuk dipilih. Dan menurut Maudadi haram untuk dipilih. Kesimpulan ini bersumber dari HR. Bukhari dan Muslim tentang seseorang yang meminta jabatan kepada Nabi Muhammad SAW.
· Muslim yang beraqidah murni dan bebas dari syirik.
· Taat beribadah.
· Berakhlak mulia dan hidup sederhana.
· Istiqomah dalam pendirian.
· Mempunyai pengorbanan yang penuh untuk kepentingan
Islam.
· Mempunyai ilmu yang luas, khususnya tentang
syari’at Islam.
Sumber: http://www.bintan-s.web.id/2011/05/kepemimpinan-menurut-islam.html
http://kepemimpinandalamislam.blogspot.com/2011/03/pemimpin-dan-kepemimpinan-dalam-islam.html