MANAJEMEN SUMBER DAYA INSANI



MANAJEMEN SUMBER DAYA INSANI

Manajemen sumber daya manusia, disingkat MSDM, adalah suatu ilmu atau cara bagaimana mengatur hubungan dan peranan sumber daya(tenaga kerja) yang dimiliki oleh individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan secara maksimal sehingga tercapai tujuan (goal) bersama perusahaan, karyawan dan masyarakat menjadi maksimal. Sedangkan manajemen sumber daya manusia dalam Islam didasari pada suatu konsep bahwa setiap karyawan adalah manusia - bukan mesin - dan bukan semata menjadi sumber daya bisnis.
Adapun manajemen sumber daya berbasis insani, menjadikan spritualitas sebagai unsur vital dan tidak terpisahkan dari tempat kerja.
Ada dua sasaran manajemen sumber daya manusia yang berbasiskan spritualitas. Pertama, pembangunan diri (self) individu yang integral. Kedua, penguatan perusahaan atau institusi sehingga berdaya saing tinggi. Semakin diyakini keterlibatan self yang menyeluruh di tempat kerja membawa dampak besar bagi kinerja individu. Terbentuknya self management dan persolan responbility pada level individu pegawai adalah dua dari sekian dampak spitualitas manajemen yang terkait dengan peningkatan kinerja. Jika tercipta sinergi dari interaksi individu-individu semacam itu, pengaruhnya akan sangat besar terhadap kinerja sebuah institusi. Jadi sikap atau mental mental yang spiritual atau muraqabatullah akan memberikan dampak yang dahsyat bagi kinerja para karyawan dan tentu saja bagi institusi tersebut.

Mekanisme Pengangkatan Pegawai
Kapatutan dan Kelayakan (Fit and Proper)
Amanah merupakan faktor penting untuk menentukan kepatutan dan kelayakan seorang calon pegawai. Hal ini bisa diartikan dengan melaksanakan segala kewajiban sesuai dengan ketentuan Allah dan takut terhadap aturan-Nya. Selain itu, melaksanakan tugas yang dijalankan dengan sebaik mungkin sesuai dengan prosedurnya, tidak diwarnai dengan unsur nepotisme, tindak kezaliman, penipuan, intimidasi, atau kecenderungan terhadap golongan tertentu.
Dalam Islam, propesi pengangkat pegawai harus berdasarkan kepatutan dan kelayakan calon atas pekerjaan yang akan dijalaninya. Ketika pilihan pengangkatan jatuh pada orang yang disinyalir memiliki kemampuan, padahal masih terdapat orang yang lebih patut, layak dan lebih baik darinya (dari golongan orang-orang terdahulu), maka proses pengangkatan ini bertentangan dengan syariah Islam.
Dalam masalah kekhalifahan beliau, ditentukan sebuah kaidah, “Barang siapa mempekerjakan orang karena ada unsur kecintaan atau kerabat, dan pengangkatannya hanya berdasarkan unsur tersebut maka ia telah berkhianat terhadap amanah Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukminin”. Dalam memilih seorang pegawai, beliau senantiasa meminta pendapat dari para sahabat, sahabat bukan hanya berdasarkan pendapat pribadinya.
Islam mendorong ummatnya untuk memilih calon pegawai berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan teknis yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan firman Allah : “salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".(Al-Qashas : 26) Pemahaman kekuatan disini bisa berbeda sesuai dengan perbedaan jenis pekerjaan, kewajiban dan tanggung jawab yang dipikulnya. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Defenisi kekuatan berbeda berdasarkan ruang yang melingkupinya. Kekuatan dalam medan perang bisa diartikan sebagai keberanian nyali untuk berperang, pengalaman perang dan kekuatan taktik atau strategi perang karena perang adalah taktik dan strategi, serta kemampuan untuk melakukan bermacam pembunuhan. Kekuatan dalam sistem peradilan dikembalikan pada pengetahuan terkait dengan keadilan yang ditunjukkan Al-Quran dan Hadits, serta kemampuan untuk menerapkan berbagai hukum.”
Amanah merupakan faktor penting untuk menentukan kepatutan dan kelayakan seorang calon pegawai. Hal ini bisa diartikan dengan melaksanakan segala kewajiban sesuai dengan ketentuan Allah dan takut terhadap aturan-Nya.
Dalam Islam, porsesi pengangkatan pegawai harus berdasarkan kepatutan dan kelayakan calon atas pekerjaan yang akan di jalaninya. Ketika pilihan pengangkatan jatuh pada orang yang disinyalir memiliki kemampuan, padahal masih terdapat orang yang lebih patut, layak dan lebih baik darinya (dari golongan orang-orang terdahulu), maka proses pengangkatan ini bertentangan dengan syariat Islam. Dalam pengankatan pegawai tidak dibenarkan jika hanya berdasarkan unsur-unsur kecintaan atau kekerabatan. Sebagaimana sikap Umar bin Khattab tidak mau mengangkat anaknya Abdullah bin Umar.

Mekanisme Kepantasan dan Kelayakan
Pembagian Aktivitas Pekerja dan Urgensinya
Ketika ingin mengangkat seorang pejabat, khalifah Umar ra., senantiasa menyediakan waktu untuk menentukan jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang harus diemban oleh seorang pejabat, selain itu, khalifah juga menentukan wewenang ataupun tanggung jawab terkait dengan jabatan yang akan diberikan. Setelah itu, khalifah akan memberikan tanda tangan dan stempel, serta disaksikan oleh beberapa sahabat Anshar dan Muhajirin.
Dalam kitab ‘Al-Siyasah al-Syari’iyyah’ Ibn Taimiyah menjelaskan, “Yang terpenting dalam persoalan ini (pengangkatan pegawai) adalah mengetahui yang paling pantas dan layak. Hal ini bisa disempurnakan dengan mengetahui wilayah dan jalan yang dimaksudkan untuk menuju kearah san. Jika engkau telah mengetahui maksud dan media (fasilitas) untuk mencapainya, maka sempurnakanlah urusan ini.
Untuk mengetahui yang paling patutu dan layak menduduki sebuah jabatan, harus ditentukan maksud dan tujuan dari adanya jabatan tersebut. Kemudian, dipikrkan bagaimana caranya (menggunakan media, fasilitas) untuk menyempurnakan tujuan itu. Hal ini dilakukan dengan membuat program-program atau langkah strategis untuk meraihnya. Dengan demikian, diharapkan bisa menemukan sosok yang patut dan layak untuk mengemban tanggung jawab yang telah ditentukan. Mengetahui wewenang dan tanggung jawab sebuah pekerjaan adalah persoalan pokok (krusial) untuk menemukan calon pegawai yang paling ideal.
1.      Pembagian Aktivitas kerja dan Urgensinya
Ketika ingin mengankat seorang pejabat, Khalifah Umar r.a. senantiasa menyediakan waktu untuk menentukan jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang harus diemban oleh seorang pejabat. Selain itu, khalifah juga menentukan wewenang atau pun tanggung jawab terkai dengan jabatan yang akan diberikan. Setelah itu, khalifah akan memberikan tanda tangan dan stempel, serta disaksikan oleh beberapa sahabat Anshar dan Muhajirin.
Sebelum para pejabat berangkat ke Madinah, kaum muslimin berkumpul di dalam masjid. Kemudian, Khalifah membacakan wewenang dan tanggung jawab yang harus dipikul pegawai tersebut, dan disaksikan oleh kaum muslimin. Hal ini dimaksudkan agar para pegawai mengetahui job disciption secara jelas, serta memahami batasan wewenang dan tanggung jawab mereka. Selain itu, jika terjadi tindak penyimpangan, kaum muslimin yang menjadi saksi bisa memberikan tindak koreksi. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Yang terpenting dalam persoalan ini (pengangkatan pegawai) adalah mengetahui yang paling pantas dan paling layak. Hal ini bisa dilakukan dengan mengetahui wilayah dan jalan yang dimaksudkan untuk menuju kearah sana. Jika engkau telah mengetahui maksud dan media (fasilitas) untuk mencapainya, maka sempurnalah urusan ini.”  Untuk mengetahui yang patut dan layak menduduki sebuah jabatan, harus ditentukan maksud dan tujuan dari adanya jabatan tersebut. Kemudian, dipikirkan bagaimana caranya (menggunakan media, fasilitas) untuk menyempurnakan tujuan itu. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat program-porgram atau langkah strategis untuk meraihnya. Dengan demikian, diharapkan bisa menemukan sosok yang patut dan layak untuk mengemban tanggung jawab yang telah di tentukan. Mengetahui wewenang dan tanggung jawab sebuah pekerjaan adalah persoalan pokok (krusial) untuk menemukan calon pengawai.
2.      Seleksi Ujian Calon Pegawai
Seleksi calon pegawai merupakan persoalan asasi dalam Islam. Hal ini setidaknya dicerminkan dari sikap dari Rasulullah ketika akan mengankat Muadz bin Jabal sebagai pejabat kehakiman. Rasulullah bertanya kepada Muadz, “Dengan apa engkau akan memutuskan persoalan hukum?” Muazd menjawab: “Dengan kitab Allah.” Rasulullah bertanya, “Jika Kamu tidak menemukannya?” Muadz menjawab: “Dengan sunnah Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Jika engkau tidak menemukannya juga?” Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku.” Rasulullah bersabda: “Alhamdulillah, Allah telah menolong utusan Rasulullah menjalankan agama sesuai dengan apa yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” Khalifah Umar tidak akan mengutus seorang gubernur untuk suatu wilayah, kecuali khalifah telah mengujinya dengan mengajak diskusi. Diriwayatkan bahwa suatu ketika khalifah sedang duduk bercengkrama dengan Ka’ab bin Sur. Kemudian, datanglah seorang wanita mengadukan persoalan suaminya. Khalifah berkata kepada Ka’ab, “Putuskanlah persoalan di antara keduanya.” Khalifah kaget dan takjub terhadap keputusan yang ditetapkan Ka’ab, dan berkata, “Berangkatlah ke Bashrah untuk menjadi hakim di sana.” Sebelumnya Ka’ab tidak mengira bahwa dirinya akan dipilih menjadi hakim di Bashrah.

Seleksi Ujian Calon Pegawai
Memberikan ujian seleksi kepada calon pegawai adalah persoalan asasi (pokok) dalam Islam. Hal ini setidaknya dicerminkan dari sikap Rasulllah ketika akan mengangkat Muadz bin Jabal sebagai pejabat kehakiman. Rasulullah bertanya kepada Muadz: “Dengan apa engkau akan memutuskan persoalan hukum? Muadz menjawab: “Dengan sunnah Rasulullah (hadis).” Rasulullah bertanya lagi: “Jika engkai tidak menemukannya juga?” Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku.” Rasulullah bersabda: “Alhamdulullah, Allah telah menolong utusan Rasulullah menjalankan agama sesuai dengan apa yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.”
Prosesi pemilihan calon pegawai dalam Islam, memiliki beberapa ketentuan yang bersifat mengikat. Proses ini diawali dengan menentukan tugas dan tanggung jawab pekerjaan secara terperinci. Kemudian, dilakukan seleksi terhadap beberapa calon pegawai yang berkompetisi. Penentuan pemilihan dilakukan oleh jamaah, karena pendapat dirasa lebih bertanggung jawab dari ada pendapat pribadi dalam menentukan orang yang lebih patut dan layak. Jika terjadi deadblock, dan terdapat persamaan bobot karakter di antara calon, maka dilakukan pengundian untuk menentukan pilihan salah satu di antara mereka.
Prosesi pemilihan calon pegawai yang dilakukan institusi/perusahaan dewasa ini merupakan pengembangan dan penyempurnaan prinsip-prinsip seleksi di awal perkembangan Islam. Calon pegawai diseleksi pengetahuan dan kemampuan teknisnya sesuai dengan beban dan tanggung jawab pekerjaannya. Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin senantiasa menerapkan prinsip untuk tidak membebankan tugas dan tanggung jawab kepada orang yang tidak mampu mengembannya.

Pilihan merupakan Hasil Seleksi Kolektif
Setelah melakukan tahapan seleksi pegawai melalui beberapa ujian. Di awal perkembangan Islam, jabatan kepagawaian tidak membutuhkan ujian seleksi bagi calon pegawai, tetapi hanya melalui consensus pendapat para sahabat. Bukan hanya pendapat pribadi khalifah atau gubernur. Hal ini bisa dimaklumi, karena masyarakat muslim pada saat itu masih relatif kecil. Sehingga, relatif mudah untuk mengetahui orang-orang saleh yang layak dan patut menjadi pegawai. Ketika wilayah kekuasaan Islam meluas, khalifah atau gubernur harus tegas dan selektif dalam memiliki calon pegawai.
Proses pemilihan calon pegawai dalam Islam, memiliki beberapa ketentuan yang bersifat mengikat. Proses ini diawali dengan menentukan tugas dan tanggung jawab pekerjaan secara terperinci.
Proses pemilihan calon pegawai yang dilakukan insitusi / perusahaan dewasa ini merupakan pengembangan dan penyempurnaan prinsip-prnsip seleksi di awal perkembangan Islam. Calon pegawai diseleksi pengetahuan dan kemampuan teknisnya sesuai dengan beban dan tanggung jawab pekerjaannya. Sebelum ditetapkan menjadi karyawan tetapi, biasanya para karyawan menjalani kontrak kerja selama rentang waktu 6 bulan sampai 2 bulan. Jika dalam masa kontrak tersebut karyawan mampu menunjukkan kinerja dan kemampuannya secara optimal dalam menjalankan tugas, maka ia bisa diputuskan untuk menjadi karyawan tetap. Namun, jika kinerjanya jelek dan tidak optimal, karyawan tersebut bisa dipecat.
Konsep ini pernah dijalankan pada masa khalifah Umar ra. Diriwayatkan bahwa khalifah Umar ra., berkata kepada pegawainya: “Sesungghnya aku memilihmu, untuk mengujimu. Jika engkau mampu menunjukkan kinerja yang optimal dan baik, maka akan aku tambahkan tanggungjawabmu. Namun, jika kinerja engkau jelek, aku akan memecatmu”.

Karyawan Tetap
Jika para pegawai mampu menunjukkan kinerja yang optimal pada masa kontrak, selanjutnya akan dilakukan pengangkatan jabatan. Penentuan wewenang dan tanggung jawab yag harus diembannya.
Sebelum dikukuhkan sebagai pejabat, aset dan harta kekayaan yang dimiliki calon pegawai harus dihitung terlebih dahulu. Langkah ini dilakukan untuk mempermudah proses audit atau pemeriksaan kekayaan yang dimiliki, jika terdapat penambahan, dikhawatirkan mereka akan mengeksploitasi dan melakukan komersialisasi jabatan untuk menumpuk kekayaan, sehingga mudah untuk mempertanggungjawabkannya.
Jika pegawai mampu menunjukkan kinerja yang optimal pada masa kontrak, selanjutnya akan dilakukan pengangkatan jabatan. Penentuan wewenang dan tanggung jawab yang harus diembannya. Sebelum dikukuhkan sebagai pejabat, aset dan harta kekayaan yang dimiliki calon pegawai harus dihitung terlebih dahulu. Langkah ini dilakukan untuk mempermudah proses audit atau pemeriksaan kekayaan yang dimiliki, jika terdapat penambahan, dikhawatirkan mereka akan mengeksploitasi dan melakukan komersialisasi jabatan untuk menumpuk kekayaan, sehingga mudah untuk mempertanggungjawabkannya. Khalifah Umar r.a. selalu melakukan audit terhadap aset kekayaan para pegawainya untuk menghindari eksploitasi dan komersialisasi jabatan demi kepentingan pribadi (vested-interest). Apa yang telah dilakukan Khalifah Umar r.a. untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya, mencerminkan pemikiran manajemen yang dahsyat dan belum mampu dijangkau ilmu modern.

Penetapan Upah terlebih dahulu
Selain itu, Rasulullah juga mendorong para majikan untuk membayarkan upah para pekerja ketika mereka telah usai menunaikan tugasnya. Rasulullah bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” Ketentuan ini untuk menghilangkan keraguan pekerja atau kekhawatirannya bahwa upah mereka tidak akan dibayakan, atau akan mengalami keterlambagan tanpa adanya alasan yang dibenarkan. Namun demikian, umat Islam diberikan kebebasan untuk menentukan waktu pembayaran upah sesuai dengan kesepakatan antara pekerja dan majikan, atau sesuai dengan kondisi. Upah bisa dibayarkan seminggu sekali atau sebulan sekali.
Upah yang dibayarkan kepada para pekerja, terkadang boleh dibayarkan berupa barang, bukan berupa uang tunai. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab memberikan upah kepada Gubernur Himsha, Iyadh bin Ghanam, berupa uang satu dinar, satu ekor domba, dan satu mud kurma setiap hari.
Memenuhi upah para pegawai merupakan suatu keniscayaan, tidak boleh ditunda-tunda, dikurangi, atau tidak mendapatkan upahnya. Jika itu dilakukan maka merupakan suatu bentuk kezhaliman. Didalam hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Buhkari dalam sahihnya disebutkan: “Tiga orang yang Aku menjadi seteru mereka pada hari kiamat: Seseorang yang berjanji pada-Ku kemudian ia melanggarnya, seseorang yang menjual orang merdeka lalu ia memakan hasil penjualannya, dan seseorang yang memperkerjakan seorang buruh lalu sang buruh itu memenuhi pekerjaannya tetapi ia tidak memberikan upahnya kepadanya” Dan dalam riwayat lain ditambahkan: “Tiga orang yang Aku menjadi seteru mereka :…dan siapa yang Aku menjadi seterunya maka pasti Aku memusuhinya”
1.      Penetapan Upah Terlebih Dahulu
Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang mempekerjakan seorang pekerja, maka harus disebutkan upahnya.” Rasulullah memberikan petunjuk bahwa dengan memberikan informasi gaji yang akan di terima, diharapkan akan memberikan dorongan semangat bagi pekerja untuk memenuhi pekerjaan, dan memberikan rasa ketenangan. Mereka menjalankan tugas pekerjaan sesuai dengan kesepakatan kontrak kerja dengan majikan.
2.      Berikanlah Upah Buruh Sebelum Kering Keringatnya
Diriwayatkan dari Ibnu Majah Rasululullah saw bersabda : “Berikanlah upah seorang buruh sebelum mengering keringatnya” Para ulama menjelaskan sebab dan hikmah statemen hadis tersebut. Karena upahnya adalah harga kerja badannya sedangkan ia telah menyegerakan pemberian jasanya. Jika ia telah menyegerakannya maka ia berhak mendapatkan upah dengan segera.
Ketentuan ini untuk menghilangkan keraguan pekerja atau kekhwatirannya bahwa upah mereka tidak akan dibayarkan, atau akan mengalami keterlambatan tanpa ada alasan yang dibenarkan. Namun demikian, umat Islam diberikan kebebasan untuk menentukan waktu pembayaran upah sesuai dengan kesepakatan antara pekerja dan majikan, atau sesuai kondisi.
Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak mendapatkan upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan. Karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka. Kecuali, syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
Upah yang dibayarkan kepada para pekerja, terkadang boleh dibayarkan berupa barang, bukan berupa uang tunai. Diriwayatkan Umar bin Khattab memberikan upah Gubernur Himsha, Iyadh bin Ghanam, berupa uang satu dinar, satu ekor domba, dan satu mud kurma setiap hari.

Dasar Penentuan Upah
Upah ditentukan berdasarkan jenis pekerjaan, ini merupakan asas pemberian upah sebagaimana ketentuan yang dinyatakan Allah.
Dasar penentuan upah harus diperhatikan dua hal: Pertama : Nilai kerja itu sendiri, karena tidan mungkin disamakan antara orang yang pandai dengan orang yang bodoh, orang yang tekun dengan orang yang lalai, orang yang spesialis dengan orang yang bukan spesialis, karena menyamakan dua orang yang berbeda adalah suatu bentuk kezhaliman. Allah berfiman : “Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar: 9) “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-An’am : 132) Untuk itu, upah yang dibayarkan kepada masing-masing pegawai bisa berbeda berdasarkan jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang dipikulnya. Kedua: Kebutuhan pekerja, karena ada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi, baik berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, transportasi, pendidikan anak, maupun segala sesuatu yang diprlukan sesuai dengan kondisinya, untuk orang tersebut dan untuk orang yang menjadi tanggungannya. Artinya kecukupan bukan merupakan sesuatu yang statis dan bukan pula satu bentuk bagi semua orang, tetapi bagi setiap orang sesuai dengan kondisinya masing-masing. Abu Bakar berkata, “Tentukanlah untukku penghidupan seperti penghidupan seorang dari kalangan pertengahan orang-orang Quraisy, bukan yang tertinggi dan bukan pula yang terendah dari mereka.”
Diriwayatkan dari Abu Daud bahwa Nabi Muhammad saw. membedakan di kalangan kaum muslimin dalam soal tujangan karena perbedaan kebutuhan dan tanggung jawab mereka. Dari ‘Auf bin Malik; bahwa Rasulullah saw. jika datang kepadanya harta fai’ maka beliau membagikannya pada hari itu juga. Beliau memberi kepada orang yang berkeluarga dua bagian dan orang yang bujangan satu bagian. ‘Auf berkata, “Maka kami dipanggil – dan aku dipanggil sebelum ‘Ammar – lalu aku dipanggil. Kemudian bagianku kepadaku dan bagian istriku. Kemudian, ‘Amar bin Yasir di panggil sesudahku lalu beliau memberikan kepadanya satu bagian.”

Solidaritas Sosial
Dalam Islam, istilah solidaritas sosial (al-takaful al-ijtima’i) memiliki hubungan yang erat dengan upah atau gaji. Seorang muslim yang mampu bekerja, akan diberikan upah sesuai dengan kinerja atau tanggung jawab pekerjaan yang diembannya. Adapun ketika mereka sudah tidak mampu lagi bekerja, negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan mereka beserta anggota keluarganya. Tanggung jawab pemenuhan kebutuhan ini menjadi kewajiban dan beban pemerintahan dari keuangan negara.
Penerapan konsep al-takaful al-ijtima’i bisa dilihat dari apa yang pernah dilakukan khalifah Umar ra., terhadap seorang tua renta yang datang meminta-minta kepada khalifah. Khalifah menghampirinya dan menepuk-nepuk bahunya seraya berkata: “Anda ahli kitab dari mana?” Orang tua itu menjawab, “Yahudi.” Umar ra., berkata, “Apa yang mendorong engkau datang kepadaku?” Orang tua itu berkata, “Saya ingin melaporkan kebutuhan saya, tentang usia saya dan pembayaran jizyah.” Khalifah Umar ra., memegang tangan orang tua tersebut dan menuntunnya menuju Baitul Mal, dan berkata : “Lihatlah orang ini dan semisalnya Demi Allah, aku berlaku tidak adil, jika aku memakan kerentaannya (tua renta), kemudian menghinakannya di saat usia senja (kehancuran). Sesungguhnya, zakat diberikan kepada kaum fakir dan miskin, dan ia adalah orang yang miskin ahli kitab”. Kemudian, khalifah membebaskan kewajiban pembayaran jizyah dia dan semisalnya.
Dalam Islam, istilah solidaritas sosial (at-takaful al-ijtima’i) memiliki hubungan yang erat dengan upah atau gaji. Seorang muslim yang mampu berkerja, akan diberikan upah sesuai dengan kinerja atau tanggung jawab pekerjaan yang diembannya. Adapun ketika mereka sudah tidak mampu lagi bekerja, negara memiliki tangguang jawab untuk memenuhi kebutuhan mereka beserta anggota keluarganya. Tanggung jawab pemenuhan kebutuhan ini menjadi kewajiban dan beban pemerintah dari keuangan negara.
Diriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda, “Barang siapa meninggalkan harta, maka untuk ahli warisnya, dan barang siapa yang meninggalkan keturunan yang lemah maka datanglah kedapaku, aku akan menanggungya.” Dengan demikian, negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi segala kebutuhan hidup rakyatnya, guna menjalankan konsep solidaritas sosial. Penerapan konsep solidaritas sosial bisa dilihat dari apa yang pernah dilakukan Khalifah Umar r.a. terhadap orang tua renta yang datang meminta-minta kepada Khalifah. Khalifah menghampirinya dan menepuk-nepuk bahunya seraya berkata, “Anda ahli kitab dari mana?” Orang tua itu menjawab, “Yahudi.” Umar r.a. berkata, “Apa yang mendorong engkau datang kepadaku?” Orang tua itu berkata, “Saya ingin melaporkan kebutuhan saya, tentang usia saya dan pembayaran jizyah,” Khalifah Umar r.a. memegang tangan orang tua tersebut dan menuntunnya menuju Baitul Mal, dan berkata: “Lihatlah orang ini dan semisalnya. Demi Allah, aku berlaku tidak adil, jika aku memakan kerentaanya, kemudian menghinakannya di saat usia senja. Sesungguhnya, zakat diberikan kepada kaum fakir dan miskin, dan ia adalah orang miskin ahli kitab.” Kemudian khalifah membebaskan kewajiban pembayaran jizyah orang tua tersebut.
Untuk mendanai jaminan sosial, dalam Islam ada berbagai sumber yang disebutkan oleh Al-Quran dan Sunnah yang juga diaplikasikan oleh para khalifah. Di antra sumber-sumber tersebut adalah:
1.      Zakat
Sumber dana yang membiayai jaminan penghidupan ini, yang pertama adalah zakat yang wajib. Zakat diwajibkan Allah atas harta orang-orang yang kaya, yang hartanya mencapai nishab dan haul atau masa panen. Firman Allah :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”
2.      Waqaf
Di antara yang sangat di anjurkan Islam adalah shadaqah jariyah yang pahalanyaa tetap mengallir setelah kematian. Rasululullah bersabda, “Jika manusia meniggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal; shadaqah jariyah, ilmu yang bermamfaat, atau anak yang shaleh mendoakannya.” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
3.      Infaq
Dalam menetapkan jaminan sosial Islam tidak cukup hanya sebatas undang-undang yang mengharuskan dan hak-hak wajib yang ditunaikan. Islam mendidik seorang muslim untuk berkorban meskipun tidak diminta dan berinfaq meskipun tidak diwajibkan atasnya.
4.      Sumber-sumber negara lainnya.
Sumber negara Islam sangat luas untuk memenuhi kebutuhan jaminan sosial, seperti seperlima ghanimah, fai’ dan kharaj. Selain itu dana yang di peroleh negara dari sumber daya alam seperti minyak, tambang, tanah pertanian, dan sebagainya.

Pengembangan Kompetensi dan Pelatihan (Training and Developmet)
Islam memandang bahwa ilmu merupakan dasar penentuan martabat dan derajat seseorang dalam kehidupan. Allah memerintahkan kepada Rasul-nya untuk senantiasa meminta tambahan ilmu. Dengan bertambahnya ilmu, akan meningkatkan pengetahuan seorang muslim terhadap berbagai dimensi kehidupan, baik urusan dunia atau agama.
Pelatihan (training) dalam segala bidang pekerjaan merupakan bentuk ilmu untuk meningkatkan kinerja, di mana Islam mendorong umatnya untuk bersungguh-sungguh dan memuliakan pekerjaan. Islam mendorong untuk melakukan pelatihan (training) terhadap para karyawan dengan tujuan mengembangkan kompetensi dan kemampuan teknis karyawan dalam menunaikan tanggung jawab pekejaannya.
Pada musim haji, khalifah Umar ra., senantiasa menggelar pertemuan tahunan bagi para gubernur dan pegawai yang tersebar di berbagai wilayah kekuasaan Islam. Pertemuan ini dijadikan sebagai media untuk melakukan training guna meningkatkan kemampuan para pegawai dalam menjalankan persoalan umat. Masing-masing gubernur dan pegawai saling tukar pengalaman dan pendapat untuk mengatasi persoalan manajemen pemerintahan. Dengan adanya pertemuan ini, diharapkan mampu meningkatkan pengalaman dan kemampuan dalam menjalankan manajemen pemerintahan.
Islam memandang bahwa ilmu merupakan dasar penentuan martabat dan derajat seseorang dalam kehidupan. Allah memerintahkan kepad Rasul-Nya untuk meminta tambahan ilmu. Dengan bertambah ilmu, akan meningkatkan pengetahuan seorang muslim terhadap berbagai dimensi pengetahuan seorang muslim terhadap dimensi kehidupan, baik itu urusan dunia maupun akhirat.
Pelatihan (training) dalam segala bidang pekerjaan merupakan bentuk ilmu untuk meningkatkan kinerja, dimana Islam mendorong umatnya untuk bersungguh-sungguh dan memuliakan pekerjaan. Rasulullah bersabda, “Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan oleh seseorang daripada apa yang ia makan dari pekerjaan tangganya. Sesungguhnya Nabi Allah Dawud a.s. memakan dari hasil kerja tangannya.”
Islam mendorong untuk melakukam pelatihan terhadap para karyawan dengan tujuan mengembangkan kemampuan kompetensi dan kemampuan teknis karyawan dalam menunaikan tanggug jawab pekerjaannya. Rasulullah memberikan pelatihan terhadap orang yang dianggkat untuk mengurusi persoalan kaum muslimin, dan membekalinya dengan nasihat-nasihat dan beberapa petunjuk.


Hubungan Kemanusiaan dalam Islam
Hubungan antarkaryawan dalam sebuah organisasi merupakan aspek penting untuk memenuhi kebutuhan mereka yang bersifat non-materi (kewajiban spiritual). Sebagai langkah awal intuk memenuhi kebutihan ini adalah menciptakan perasaan aman dan tenang bagi pegawai dalam menjalankan pekerjaan.
Pemikiran manajemen modern mengakui adanya hubungan kemanusiaan dalam proses produksi pada awal abad ke-20, dimana manusia merupakan salah satu faktor produksi. Akan tetapi, tidak mengindahkan sisi kejiwaan mereka. berbeda dengan pandangan Islam terhadap manusia. Manusia dipandang sebagai makhluk mulia yang memiliki kehormatan dan berbeda dengan makhluk lain.
Hubungan antar karyawan dalam sebuah organisasi merupakan aspek penting yantuk memenuhi kebutuhan mereka bersifat non-materi. Jika kebutuhan spiritual ini dapat terpenuhi, akan mendorong dan memotivasi pegawai untuk bekerja lebih optimal. Mereka melakukan itu semua dengan penuh keikhlasan dan semangat saling membantu sama lain. Sebagai langkah awal untuk memenuhi kebutuhan ini adalah menciptakan perasaan aman dan tenang bagi pegawai dalam menjalankan pekerjaan. Adanya peningkatan ketenangan jiwa dan berkontibusi dalam merealisasikan tujuan, masing-masing pegawai akan merasa bahwa tanggungjawab perusahaan berada di pundak mereka, dan bergntaung pada upaya dan kesungguhan mereka dalam menunaikan kerja, serta menunjukkan kinerja secara optimal denga segala potensi yang dimilikinya dan tetap menjaga kemuliaan di antara manusia.
Pemikiran manajemen modern mengakui adanya hubungan kamanusiaan dalam proses produksi pada awal abad ke-20, di mana manusia merpakan salah satu faktor produksi. Akan tetapi, tidak mengindahkan sisi kejiwaan mereka. Manusia tidak diposisikan layaknya manusia yang memiliki kemuliaan dan kehormatan, ia hanya bersifat materi sama halnya dengan faktor produksi lainnya.
Berbeda dengan pandangan Islam terhadap manusia. Manusia dipandang sebagai makhluk mulia yang yang memiliki kehormatan dan berbeda dengan makhluk lainnya. Islam mendorong umatnya untuk memperlakukan manusia dengan baik, membina hubungan dengan semangat kekeluargaan dan saling tolong menolong. Allah berfirman: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketakwan, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggran” (Al-Maidah:2)

Konsep Hubungan Kemanusiaan
Merasakan Ketenangan dan Kentetraman
Sebagai pegawai baru yang mulai masuh dunia kerja, biasanya mereka merasakan kekhawatiran dan ketakutan (canggung). Mereka merasakan kesedihan dan kebimbingan dalam mengawali pekerjaan. Mereka membutuhkan bimbingan dengan penuh kasih sayang, sehingga mereka bisa melalui hari-hari sulitnya dan bisa merasakan bahwadia adalah bagiand ari anggota karyawan secara utuh. Atasan perlu memberikan perhatian ekstra guna membantu pekerjaan mereka, memberikan petunjuk secara bijaksana, tidak dengan kesombongan dan sikap merendahkan orang lain.
Alquran memberikan petunjuk kepada kaum muslimin bahwa hubungan yang terbentuk diantara mereka, harus dibangun dengan sikap untuk saling menghormati dan menjauhi untuk saling menghormati dan menjauhi untuk saling menghina serta memperlakukan orang lain dengan buruk. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditartawakn itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri (Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh) dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sudah iman (panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: hai fasik, hai kafir sebagainya) dan barang siapa yang tidak bertoba, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Hujurat (49): 11).
1.      Merasakan Ketenangan dan Ketenraman
Sebagai pegawai baru yang mulai masuk dunia kerja, biasyanya mereka merasakan kekhawatiran dan ketakutan (canggung). Terdapat perasaan takut berbuat kesalahan dan menjadi bahan pembicaraan karyawan lama dan juga para atasan. Mereka membutuhkan bimbingan dengan penuh kasih saying, sehingga mereka bisa melalui hari-hari sulitnya dan bisa merasakan bahwa dia adalah bagian dari karyawan secara utuh.
Rasulullah bersabda: “Barang siapa tidak memberikan kasih saying kepada manusia, maka Allah tidak akan memberinya kasih saying-Nya.”
Rasulullah mendorong umatnya untuk saling membantu, tolong menolong, dan mengembangkan semangat persaudaraan di antara kaum muslimin. Beliau bersabda: “Seseorang yang berjalan bersama saudaranya untuk memenuhi kebutuhan, lebih utama dari pada beriktikaf di masjidku selama dua bulan.”
2.      Merasa Sebagai Bagian dari Organisasi
Sesama muslim layaknya seperti bangunan yang saling meguatkan satu sama lain. Pegawai muslim, akidah yang dimilikinya akan mendororngnya untuk menjauhi sikap sombong, bertindak zhalim, hasad dan bangga diri.
Rasulullah berasabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, bapak kalian adalah satu, kalian semua adalah keturunan Adam a.s., dan Adam dari tanah. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antar kalian adalah orang yang paling bertakwa. Tidak ada keutamaan orang arab atas orang ‘ajam, orang kulit merah atas orang berkulit putih, kecuali tingkat ketakwaannya.”
Hadits ini memberikan petunjuk prinsip persamaan di antara umat manusia, dan agama mendorong umatnya untuk membangu persaudaraan pegawai.
3.      Mengakui Kinerja dan Memberikan Tindak Korektif
Islam mendorong umatnya untuk memberikan semangat dan motivasi bagi pegawai dalam menjalankan tugas mereka. Kinerja dan upaya mereka harus diakui, dan mereka harus dimuliakan jika memang bekerja dengan baik. Pegawai yang menunukkan kinerja baik, bisa diberikan bonus ataupun insentif guna menghargai dan memuliakan prestasi yang telah di capainya. Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. memberikan wasiat kepada pegawainya, “Janganlah engkau posisikan sama antara orang yang berbuat baik dan yang berbuat jelek, karena hal itu akan mendorong orang yang berbuat baik untuk senang dengan kebaikan, dan sebagai pembelajaran bagi orang yang berbuat jelek.”
Rasulullah juga memberikan pembelajaran bahwa pejabat dan pegawai harus senantiasa di pantau di koreksi, mereka harus di tunjuk kesalahan yang mungkin mereka lakukan. Akan tetapi cara mengingatkannya harus bijaksana. Seperti pada kasi Iyadh bin Ghanam, pejabat Khalifah Umar r.a. Suatu ketika Iyadh melakukan kesalahan, kemudian ditegur secara keras oleh Hisyam bin Hakin di depan orang banyak, sehingga Iyadh marah. Perseteruan ini reda beberapa malam, kemudian Hisyam mendatangi Iyadh dan meminta maaf. Hisyam berkata kepada Iyadh apakah engkau tidak mendengar bahwa Rasulullah pernah bersabda: “sesungguhnya orang yang akan menerima siksa paling pedih adalah orang yang paling pedih menyiksa orang di dunia.” Iyadh berkata : “Aku mendengara apa yang engkau dengar, dan melihat apa yang engkau lihat, apakah engkau tidak mendengar Rasulullah pernah bersabda: “Barang siapa yang ingin memberikan nasihat kepada penguasa, maka janganlah di perlihatkan secara jelas….”
4.      Keyakinan Terhadap Tujuan Dan Tanggung Jawab.
Seorang pegawai mengetahui tujuan dan tanggung jawab pekerjaan yang dilakukannya, mengetahui hubungannya dengan pegawai lain, adalah orang yang terbuka hatinya dan lapang jiwanya.
Islam mendorong untuk bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban, serta memotivasi mereka guna menunjukkan kinerja yang optimal, dan saling berkompetensi dalam kebaikan. Dengan demikian masing-masing pribadi muslim memiliki beban tanggung jawab yang harus dipikulnya. Rasulullah pernah mendelegasikan kepemimpinan perang pembukaan kota Syam kepada Usamah bin Zaid, padahal umurnya tidak lebih dari 18 tahun. Dorongan dari Rasulullah dapat dijadikan sebagai motivasi untuk memikul tanggung jawab dan melaksanakan sebagai mana mestinya.
5.      Terhindar dari Tindak Kezhaliman
Rasulullah mendorong untuk berlaku adil terhadap orang-orang yang terzhalimi, dan tetap menjaga kehormatan dan kemuliaan mereka, serta terbebas dari kezhaliman. Khalifah Umar r.a. juga mencontohkan, dia berkata: “Jika ada pegawaiku yang melakukan kezhaliman, dan kezhaliman itu telah sampai kepadaku, namun aku tidak mengubahnya, maka aku telah melakukan kezhaliman terhadapnya.

Merasa sebagai Bagian dari Organisasi
Sesama pegaai adalah saudara, saling membantu satu sama lain dalam menyelesaikan pekerjaan. Mereka layaknya satu bangunan yang saling menguatan satu sama lain.

Mengakui Kinerja dan Memberikan Tindak Korektif
Ini merupakan persoalan kursial dalam hubungan antara atasan dan bawahan pada satu organisasi tertentu.
Islam mendorong umatnya untuk memberikan semangat dan motivasi bagi pegawai dalam menjalankan tugas mereka. kinerja dan upaya mereka harus diakui, dan mereka harus dimuliakan jik amemang bekerja dengan baik. Pegawai yang menunjukkan kinerja baik, bisa diberi bonus ataupun insentif guna menghargai dan memuliakan prestasi yang telah dicapainya. Khalifah Ali bin Abi Thalib ra., memberikan wasiat kepada pegawainya, “Jangkanlah engkau diposisikan sama antara orang yang berbuat baik dan yang berbuat jelek, karena hal itu akan mendorong orang yang berbuat baik untuk senang menambah kebaikan dan sebagai pembelajaran bagi orang yang berbuat jelek.”
Rasulullah juga memberikan pembelajaran bahwa para pejabat dan pegawai harus senantiasa dipantau dan dikoreksi, mereka harus ditunjukkan kesalahan yang mungkin mereka lakukan. Akan tetapi, cara mengingatkannya harus bijaksana, tidak bisa dilakuan di hadapkan khalayak ramai untuk menjaga kehormatan dan harga diri mereka.

Keyakinan terhadap Tujuan dan tanggung jawab
Seorang pegawai yang mengetahui tujuan dan tanggung jawab pekerjaan yang dilakukannya, mengetahui hubungannya dengan pegawai lain, adalah orang yang terbuka hatinya dan lapang jiwanya. Mereka memiliki semangat dan etos kerja yang tinggi, dan mampu menunaikan semua tugas pekerjannya dengan keikhlasan dan ketenangan jiwa.
Islam mendorong untuk bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban, serta memotivasi mereka guna menunjukkan kinerja yang optimal, dan saling berkompetisi dalam kebaikan. Dengan demikian masing-masing pribadi muslim memiliki beban tanggung jawab yang harus dipikulnya.

Terhindar dari Tindak Kezaliman
Hal ini merupakan tugas pokok bagi para pegawai pemerintahan, mereka dituntut untuk melindungi rakyat dari tindak kezaliman. Rasulullah mendorong untuk berlaku adil terhadap orang-orang yang terzalimi, dan tetapi menjaga kehormatan dan kemuliaan mereka, serta terbebas dari kezaliman. Allah berfirman : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kamu angkut mereka di daratan dan dilautan (maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan). Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (Al-Isra’ (17): 70).
Jika ada rakyat kecil yang mengadukan pemimpinnya atas suatu perkara, maka hal ini harus dibawa kemahkamah peradilan, agar kebenaran bisa terungkap di antara mereka. khalifah Umar ra., memandang bahwa seorang pemimpin layaknya rakyat biasa di hadapkan hukum peradilan. Mereka harus diperlakukan sama untuk memperoleh keadilan.
Manajemen sistem peradilan telah berkembang dalam Islam, setidaknya hal ini tercermin dari terbentuknya diwal al-madzalim yang dikhususkan untuk menyelesaikan persoalan tindak kezaliman. Melakukan pengawasan terhadap kezaliman yang mungkin dilakukan para pimpinan, atau menangani keluhan para pegawai yang merasakan kealiman. Diwan al-madzalim merupakan lembaga hukum independent yang terpisah dari kekuasaan seorang pemimpin. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan putusan hukum yang adil antara pegawai yang terzalimi dengan pejabat pemerintahan yang berbuat kezaliman.
















DAFTAR PUSTAKA

Abu Sinn, Ahmad Ibrahim. Manajemen Syariah: Sebuah Kajian Histories dan Kontemporer, 2008. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
http://oureconomic.blogspot.com/2009/12/manajemen-sumber-daya-insani.html


























MANAJEMEN SUMBER DAYA INSANI

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Manajemen Syariah

Dosen Pembimbing:
Sri Eka Astutiningsih, SE.MM












Disusun oleh :
1.      Nila Uswatul Husna    3221083028
2.      Ratih Kurnianingsih    3221083033




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUNGAGUNG

 
APRIL 2010

One Response so far.

  1. Unknown says:

    Keren sekali artikelnya

Leave a Reply