KONSEP DASAR TEORI AKUNTANSI SYARIAH



KONSEP DASAR TEORI AKUNTANSI SYARIAH

Chua dan Degeling (1993) menggunakan teori aksi komunikasi dengan dimensi instrumental, moral, dan aesthetic untuk melihat praktik akuntansi di sektor publik, khususnya helath-care industry di Amerika Serikat. Tiga dimensi atas sebetulnya merupakan bagian dari teorinya Habermas (1984) tentang Communicative Action. Dengan alat analisis ini Chua dan Degeling health-care industry meliputi tiga aspek tadi. Praktik akuntansi di health-care industry dalam kenyataannya tidak dapat melepaskan diri dari fungsinya sebagai instrument untuk mengendalikan biaya (cost control), mengukur efisiensi, menguur productivity gains, dan menilai kinerja. Kemudian, dari penelitian ini juga dikemukakan bahwa instrumen akuntansi pada dasarnya tidak bebas nilai, tetapi sebaliknya sarat nilai, sehingga untuk mempraktikkan akuntansi sebagai instrumen juga harus mempertimbangkan nilai-niai etika yang berlaku di mana akuntansi tadi dipraktikkan. Demikian juga tentang praktik menerapkan sistem akuntansi di health-care industry diperlukan unsur seni (aesthetic).
Bab ini sebetulnya tidak dibicarakan tentang praktik akuntansi di health-care industry, tetapi sekedar memberikan justifikasi penggunaan teori lain dalam peneltiian akuntansi (baik yang empiris maupun yang konseptual). Di dunia non-mainstream accounting menggunakan teori lain (selain teori akuntansi) adalah suatu hal yang lumrah sebagaimana dilakukan oleh Chua dan Degeling (1993; lihat juga Preston 1986; Neimark & Tinker 1986; Reiter 1995; Macintosh et.al. 2000) di atas; dan sebagaimana juga dilakukan oleh Triyuwono (2000a; lihat juga Triyuwono 1995).
Triyuwono (1995; 2000a), misalnya menggunakan dimensi faith (iman), knowledge (ilmu/pengetahuan), dan action (aksi/tindakan)[1] sebagai satu kesatuan dalam memahami budaya organisasi dan praktik akuntansi yang dilakukan di lembaga-lembaga keuangan Islam baik yang profit-oriented maupun yang nir laba. Dengan alat ini Triyuwono (1995; 2000a) dapat menjelaskan proses terbentuknya institusi keuangan Islam beserta beberapa perangkat operasionalnya (termasuk akuntansi sebagai bentuk aktualisasi (atau eksternalisasi) iman dan imu pengetahuan. Bahkan dengan instrumen yang sama dihasilkan metodologi konstruksi Akuntansi Syari’ah.
Masih dalam konteks yang sama, bab ini juga akan mendiskusikan konsep dasar teori Akuntansi Syariah (knowledge) sebagai kesatuan yang tidak terpisah dengan faith dan action. Secara khusus, bab ini tidak mendiskusikan faith dan action, tetapi secara implisit dua hal ini terkait dengan knowledge (teori Akuntansi Syariah). Dalam bab ini diasumsikan bahwa (teori) Akuntansi Syariah merupakan teori ilmu pengetahuan profetik) Kuntowidjojo 1991; Triyuwono 1995; 2000a; 2000b) yang memiliki prinsip filosofis tertentu. Dari prinsip filosofis ini kemudian diturunkan menjadi konsep dasar teori Akuntansi Syariah.

Akuntansi Syariah: Teori Ilmu Sosial Profetik
Secara normative, masyarakat muslim mempraktikkan akuntansi berdasarkan pada perintah Allah dalam QS. Al-Baqarah (2) : 282. Perintah ini sesungguhnya bersifat universal dalam arti bahwa praktik pencatatan harus dilakukan dengan benar atas transaksi yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lainnya. “Substansi” dari perintah ini adalah : (1) praktik pencatatan yang harus dilakukan dengan (2) benar (adil dan jujur). Substansi dalam konteks ini, sekali lagi, berlaku umum sepanjang masa, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Sementara yang selalu terkait dengan “substansi” adalah “bentuk”. Berbeda dengan “substansi”, “bentuk” selalu dibatasi oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu “bentuk” akan selau berubah sepanjang masa mengikuti perubahan itu sendiri. Yang dimaksud dengan “bentuk” di sini adalah teknik dan prosedur akuntansi, perlakukan akuntansi, bentuk laporan keuangan dan lain-lainnya. Bentuk praktik akuntansi di negara Arab akan berbeda dengan bentuk praktik akuntansi di Indonesia. Demikian juga, bentuk praktik akuntansi di Amerika Serikat pada tahun 1700-an akan berbeda dengan praktik akuntansi pada tahun 2000-an sekarang ini. “Bentuk” selalu melekat dengan kondisi objektif (lingkungan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain-lainnya) dari masyarakat di mana akuntansi tadi dipraktikkan. Oleh karena itu, sangat wajar bila”bentuk” akuntansi di masing-masing negara / bangsa selalu berbeda. Bahkan di satu negara pun akan berbeda bentuknya jika dilihat dari masa ke masa.
Perintah normatif alquran di atas perlu dioperasionalkan dalam bentuk aksi / praktik. Sehingga perinah alquran dapat membumi (dapat dipraktikan) dalam masyarakat. Selama ini masyarakat muslim secara umum terperangkap pada aspek normative dalam memahami perintah-perintah agama, dan sebaliknya melupakan praktiknnya. Sebagai contoh misalnya umat muslim sering mednapatkan ceramah bahwa “bersih itu adalah sebagian dari iman”, tetapi ternyata dalam praktinya umat muslim tidak dapat mengerjakannya. Hal ini dibuktikan dengan keadaan masjid yang selalu kotor, rumah sakit Islam yang juga kotor, dan masih banyak contoh lainnya.
Di sini terlihat adanya jurang pemisah (gap) antara perintah normatif dengan praktiknya. Dalam kaitannya dengan in Kuntowidjojo (1991) mengusulkan perlunya “ilmu sosial profetik”. Yang dimaksud dengan ilmu sosial profetik di sini adalah ilmu yang diturunkan dari alquran dan hadis (sunnah nabi) dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang nantinya digunakan untuk menjembatani antara perintah normative dengan praktik. Dengan ilmu ini, perintah-perintah normative menjadi lebih operasional dan dapat dipraktikkan dalam dunia nyata. Dalam konteks ini, akuntansi syariah yang sedang kita bicarakan sebetulnya merupakan bagian dari upaya kita dalam membangun ilmu sosial profetik di bidang akuntansi. Perintah normative telah ada dalam alquran, berikutnya adalah menerjemahkan alquran dalam bentuk tori Akuntansi Syariah yang pada gilirannya digunakan untuk memberikan arah (guidance) tentang praktif akuntansi yang sesuai dengan syariah.

Prinsip Filosofis Akuntansi Syariah
Diatas telah disingggung, bahwa pembahasan teori Akuntansi Syairah di sini tidak terlepas dari konteks faith, knowledge, dan action. Ini artinya adalah bahwa teori Akuntansi Syariah (dalam hal ini adalah knowledge) digunakan untuk memandu praktik akuntansi (action). Dari keterkaitan ini kita bisa melihat bahwa teori Akuntansi Syariah (knowledge) dan praktik Akuntansi Syariah (action) adalah dua sisi dari satu uang logam yang sama. Keduanya tidak dapat dipisahkan, keduanya juga tidak boleh lepas dari bingkai keimanan / tauhid (faith) yang dalam hal ini bisa digambarkan sebagai sisi lingkaran pada uang logam yang membatasi dua sisi lainnya untuk tidak keluar dari keimanan.
Dalam konteks lingkaran keimanan tadi, maka secara filosofis teori Akuntansi Syariah (sebagai salah satu ilmu sosial profetik) memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut (Kuntowidjojo 1991: Triyuwono 1995; 2000a; 2000b):
·         Humanis
·         Emansipatoris
·         Transendental, dan
·         Teleological
Humanis memberikan suatu pengertian bahwa teori Akuntansi Syariah bersifat manusiawi, sesuai dengan fitrah manusia, dan dapat dipraktikkan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk yang selalu berinteraksi dengan orang lain (dan alam) secara dinamis dalam kehidupan sehari-hari. Emansipatoris mempunyai pengertian bahwa teori Akuntansi Syariah mampu melakukan perubahan-perubahan yang signifikan terhadap teori dan praktik akuntansi modern yang eksis saat ini. Perubahan-perubahan yang dimaksud disini adalah perubahan yang membebaskan (emansipasi). Transendental mempunyai makna bahwa teori Akuntansi Syariah melintas batas disiplin ilmu akuntansi itu sendiri. bahkan melintas batas dunia materi (ekonomi). Dengan prinsip filosofis ini teori Akuntansi Syariah dapat memperkaya dirinya sendiri dengan mengadopsi disiplin ilmu lainnya (selain ilmu ekonomi), seperti: sosiologi, etnologi, fenomenologi, antropologi, dan lain-lainnya bahkan dapat mengadopsi nilai ajaran “agama lain”. Kemudian, aspek transedental ini sebetulnya tidak terbatas pada disiplin ilmu, tetapi juga menyangkut aspek ontology, yaitu tidak terbatas pada objek yang bersifat materi (ekonomi), tetapi juga aspek non-materi (mental dan spiritual). Demikian juga pada aspek epistemologinya, yaitu dengan melakukan kombinasi dari berbagai pendekatan. Sehingga dengan cara semacam ini, teori akuntansi syariah benar-benar akan bersifat emansipatoris.
Teleological memberikan suatu dasar pemikiran bahwa akuntansi tidak sekadar memberikan informasi untuk pengambilan keputusan ekonomi, tetapi juga memiliki tujuan transendental sebagai bentuk pertanggung jawaban manusia terhadap Tuhannya, kepada sesama manusia, dan kepada alam semesta. Prinsip filosofis ini menjadi bagian yang sangat penting dalam konstruksi Akuntansi Syariah, karena di dalamnya terkandung karakter yang unik yang tidak dapat ditemukan dalam wacana akuntansi modern. Teori Akuntansi Syariah memberikan guidance tentang bagaimana seharusnya Akuntansi Syariah itu dipraktikkan.

Konsep Dasar Teori Akuntansi Syariah
Teori Akuntansi Syariah, sebagaimana telah disinggung di atas, memberikan arah bagi penggunanya untuk melakukan aksi. Pada sub-bab sebelumnya kita telah membahas prinsip filosofis sebagai bingkai yang mewadahi teori Akuntansi Syariah. Konsep dasar merupakan wujud (atau kerangka) dasar yang akan mempengaruhi bentuk teori, cara memandang, dan cara mempraktikkan akuntansi dalam duia ekonomi-bisnis.
Lebih lanjut dikatakan oleh Hendriksen & Van Breda (1992) bahwa tujuan utama dari teori akuntansi ini adalah memberikan satu set prinsip yang diturunkan secara logis untuk dijadikan sebagai referensi dalam menilai dan mengembangkan praktik akuntansi.
Tabel prinsip filosofis dan konsep dasar teori akuntansi syariah
No
Prinsip Filosofis
Konsep Dasar
1

2


3

4
Humanis

Emansipatoris


Transendental

Teleologikal
·         Instrumental
·         Socio-economic
·         Critical
·         Justice
·         All-inclusive
·         Rational-intuitive
·         Ethical
·         Holistic Welfare

Konsep dasar socio-economic mengindikasikan bahwa teori Akuntansi Syariah tidak membatasi wacana yang dimilikinya pada transaksi-transaksi ekonomi saya, tetapi juga mencakup “transaksi-transaksi sosial”. “Transaksi sosial” di sini meliputi “transaksi” yang menyangkut aspek sosial, mental dan spiritual dari sumberdaya yang dimiliki oleh entitas bisnis (Cf. Mathews 1993).
Dari derivasi prinsip filosofis emansipatoris, kita mendapatkan konsep dasar critical dan justice. Konsep dasar critical memberikan dasar pemikiran bahwa konstruksi teori Akuntansi syariah tidak bersifat dogmatis dan eksklusif. Sikap kritis mengindikasikan bahwa kita dapat menilai secara rasional kelemahan dan kekuatan akuntansi yang lebih baik dari penilai kritis ini dapat dibangun teori akuntansi yang lebih baik dari sebelumnya. Sebagai contoh misalnya, kita dapat melihat bahwa teori akuntansi modern memiliki kelehaman pada aspek penekanan ekonomi (materi) yang sangat tinggi, sehingga menimbulkan efek pada tersingkirnya (atau tertindasnya) aspek-aspek non-materi (non-ekonomi). Aspek yang tersingkir atau tertindas ini, dengan menggunakan konsep dasar critical, diangkat atau dibebaskan memposisikan aspek materi (lihat Triyuwono 2000b). Jadi kalau kita lihat, posisi aspek materi dan non-materi pada teori akuntansi modern didudukkan pada posisi yang tidak adil. Oleh karena itu, dengan konsep dasar justice, aspek-aspek penting dalam akuntansi akan didudukkan secara adil.
Kemudian berikutnya adalah prinsip filosofis transendental. Dari prinsip ini kita akan mendapatkan konsepd asar all-inclusive dan rational-intuitive. Konsep dasar all-inclusive memberikan dasar pemikiran bahwa konstruksi teori Akuntansi Syariah bersifat terbuka. Artinya, tidak menutup kemungkinan teori Akuntansi Syariah akan mengadopsi konsep-konsep dari akuntansi modern, sepanjang konsep tersebut selaras dengan nilai-nilai Islam. Secara implisit, konsep ini mengarahkan kita pada pemikiran bahwa substansi lebih penting daripada bentuk.
Konsep dasar rational-intuitive mengindikasikan bahwa secara epistemologi, konstruksi teori Akuntansi Syariah memadukan kekuatan rasional dan intuisi manusia. Konsep ini tentunya sangat berbeda dengan konsep teori-tori modern. Teori-teori modern (termasuk akuntansi) mendudukkan rasio pada posisi sentral dan sebaliknya menyingkirkan intuisi dalam proses konstruksi teori. Intuisi, bagi proponen teori modern, berada di luar domain ilmu pengetahuan yang rasiona. Oleh karena itu, intuisi manusia tidak dapat dilibatkan dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Namun dalam kenyataannya, intuisi manusia memiliki kekuatan yang sangat besar dalam melakukan perubahan-perubahan signifikan dalam masyarakat. Intuisi inilah sebetulnya merupakan instrumen ajaib yang dapat melahirkan inovasi-inovasi yang tidak pernah terpikrkan sebelumnya. Jadi bukan suatu hal yang aneh, bila dalam konstruksi teori Akuntansi Syariah, intuisi merupakan instrumen yang sangat penting yang kemudian disinergikan dengan instrumen rasional manusia.
Selanjutnya dari pinsip filosofis teleologikal kita mendapatkan konsep dasar ethnical dan holistic. Ethical merupakan konsep dasar yang dihasilkan dari konsekuensi logis keinginan kembali ke Tuhan dalam keadaan tenang dan suci. Untuk kembali ke Tuhan dengan jiwa yang tenang dan suci, maka seseorang harus mengikuti hukum-hukum-Nya (Sunnatullah) yang mengatur baik-buruk, benar-salah, adil-zholim. Singkatnya, teori Akuntansi Syariah dibangun berdasarkan nilai-nilai etika Islam. Konsekuensi dari penggunaan nilai-nilai etika Islam dalam konstruksi Akuntansi Syariah adalah diakuinya bahwa kesejahteraan yang menjadi salah satu aspek Akuntansi Syariah tidak terbatas pada kesejahteraan materi saja, tetapi juga kesejahteraan non-materi. Jadi yang dimaksud dengan kesejahteraan di sini adalah kesejahteraan yang utuh (holistic welfare). Ini tentu sangat berbeda dengan teori akuntansi modern. Teori akuntansi modern hanya berorientasi pada kesejahteraan materi.
Konsep dasar yang telah dijelaskan di atas ini akan menjadi referensi bagi kita yang akan mengonstruksi teori akuntansi modern. Konsep dasar ini akan menghasilkan bentuk teori akuntansi yang berbeda dengan teori akuntansi modern. Dan pada gilirannya, akan menghasilkan bentuk praktik akuntansi yang berbeda dengan akuntansi modern saat ini.


METODOLOGI PENGEMBANGAN TEORI AKUNTANSI SYARIAH
A.    Pendahuluan
Kita sekarang telah memutuskan bahwa suatu teori akuntansi dimungkinkan apabila teori akuntansi merupakan suatu kerangka referensi, seperti yang diusulkan Hendriksen; Teori akuntansi mengandung tiga elemen yakni: penyandian fenomena kedalam gambaran simbolis, manipulasi atau kombinasi sesuai aturan, dan pengubahan kembali ke dalam kenyataannya. Seperti dalam setiap disiplin lain, suatu metodologi diperlukan untuk perumusan suatu teori akuntansi. Perbedaan pendapat, pendekatan, dan nilai antara praktik akuntansi dan penelitian akuntansi telah menjuruskan pada pemakaian dua metodologi, yakni: metodologi deskriptif dan lainnya metodologi normative. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam buku ini, akan dibahas topik-topik sebagai berikut: Pendahuluan; Pendekatan Perumusan Teori Akuntansi; dan Pendekatan yang digunakan dalam Studi Akuntansi Syariah.

B.     Pendekatan Perumusan Teori Akuntansi
Metodologi yang biasa digunakan untuk perumusan suatu teori akuntansi, pada dasarnya adalah metodologi deskriptif. Dengan kata lain menurut pandangan ini, teori akuntansi merupakan suatu usaha coba-coba untuk membenarkan apa yang tersusun melalui praktik akuntansi. Suatu teori seperti ini dinamakan Akuntansi Deskriptif atau suatu Teori Akuntansi Deskriptif. Pendekatan teori akuntansi deskriptif telah dikecam oleh para pendukung metodologi normative yang melahirkan teori akuntansi normative. Teori akuntansi normatif berusaha membenarkan apa yang seharusnya benar, daripada membenarkan apa yang benar.
Perbedaan antara dua orientasi tersebut, yakni : Kesatu, disebut Akuntansi Operasionil. Akuntansi Operaisonal diarahkan pada penyajian informasi yang berguna bagi keputusan manajemen dan investor, khususnya keputusan yang menyangkut alokasi sumberdaya. Kedua, disebut Akuntansi Hak Pemilikan, diarahkan pada penyesuaian hak milik para pemegang saham dan pihak lain yang berpekentingan baik yang berada di dalam ataupun di luar suatu organisasi agar dapat mencapai suatu keadilan dalam bagian hasial atau keuntungan operasi.
Diantara teori akuntansi yang termasuk dalam kelompok pendekatan normative ada beberapa studi yang dilakukan di antaranya dilakukan oleh Moonitz, Sprouse dan Moonitz, The American Accounting Association’s A Statement of Basic Accounting Theory, teori karya Edwards dan Bell, serta The Study by Chambers. Suatu review yang baik mengenai metodologi deskriptif dan normative serta teori-teori yang dihasilkan, ditemukan oleh Mc Donald dan The AAA’s Statement on Accounting Theory and Theory Acceptancen. Sekalipun tidak ada suatu teor akuntansi yang komprehensip, namun ada berbagai teori akuntansi dalam kategori cukup baik. Hal ini diakibatkan karena pemakaian pendekatan yang berbeda. Beberapa pendekatan tradisionil ini telah dapat diterima lebih tinggi dibanding pendekatan baru. Beberapa pendekatan tradisionil adalah:
  1. Non-teoritis, praktis atau pragmatis (tak formil)
  2. Teoritis
a.       Deduktif
b.      Induktif
c.       Etis
d.      Sosiologis
e.       Ekonomis
f.       Memilih-milih dari berbagai sumber
Pendekatan Non-Teoritis
Pendekatan non-teoritis adalah suatu pendekatan pragmatis (atau praktis) atau suatu pendekatan otoriter. Pendekatan pragmatis adalah pembentukan suatu teori yang berciri khas sesuai dengan praktik senyatanya, dan pembentukan teori tersebut mempunyai kegunaan ditinjau dari segi cara penyelesaiannya yang praktis sebagaimana yang diusulkan. Pendekatan otoriter adalah perumusan suatu teori akuntansi, yang umumnya digunakan oleh organisasi professional, dengan menerbitkan pernyataan sebagai peraturan praktik akuntansi.
Pemakian kegunaan atau faedah sebagai suatu kriteria pemilihan prinsip akuntansi menghubungkan pembentukan teori akuntansi pada praktik akuntansi, yang dapat menjelaskan kekuranggairahan yang disebabkan oleh pendekatan pragmatis. Kita boleh juga memikirkan pendekatan pragmatis sambil memasukan suatu teori rekening. Pendekatan ini, yang bertumpu pada suatu rasionalisasi tata buku berpasangan, dimuat dalam Fra Luca Paciolo’s Summa de Aritmetica Gemoetical Proportioni et Proportinalita, diterbitkan di Venice pada tahun 1494. Walaupun the Summa merupakan suatu review buku teknologi matematis yang berlaku waktu itu, namun memasukkan 36 bab pendek mengenai tata buku, yang disebut De Computis et Scripturis (of Reckonings and Writing).
Teori pendekatan rekening merasionalkan pemilihan teknik akuntansi atas dasar persamaan akuntansi, yakni persamaan neraca dan persamaan keuntungan akuntansi. Persamaan neraca biasanya dinyatakan sebagai:
Aktiva = Utang + Modal Pemilik
Persamaan keuntungan akuntansi biasanya dinyatakan sebagai:
Keuntungan akuntansi = Penghasilan - Biaya
Dua persamaan menurut teori pendekatan rekening ini mengarahkan pada pengembangan dua posisi yakni satu posisi yang berorientasi pada neraca dan satu posisi yang berorientasi pada keuntungan. Bagaimanapun juga, teori pendekatan rekening seperti pendekatan pragmatis dan otoriter.
Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif adalah pendekatan yang digunakan dalam membentuk teori yang dimulai dari dalil-dalil dasar dan tindakan-tindakan dasar untuk mendapatkan kesimpulan logis tentang pokok persoalan yang sedang dipertimbangkan.
Pendekatan ini berjalan dari umum (dalil dasar tentang lingkungan akuntansi) kekhusus (pertama ke prinsip akuntansi, dan kedua pada teknik akuntansi). Apabila pada saat ini kita beranggapan, bahwa dalil dasar tentang lingkungan akuntansi terdiri dari tujuan dan pernyataan, maka langkah yang digunakan bagi pendekatan deduktif akan meliputi sebagai berikut:
  1. Menetapkan “tujuan” laporan keuangan
  2. Memilih “aksioma” akuntansi
  3. Memperoleh “prinsip” akutnansi
  4. Mengembangkan “teknik” akuntansi.
Oleh karena itu, menurut teori akuntansi yang diperoleh secara deduktif, teknik ini berkaitan dengan prinsip dan aksioma serta tujuan menurut suatu cara yang sedemikian rupa sehingga apabila prinsip dan oksioma serta tujuannya benar, maka tekniknya pun harus menjadi benar. Struktur teoritis akuntansi ditetapkan menurut rangkaian tujuan, aksioma, prinsip, teknik yang bertumpu pada suatu perumusan tepat terhadap suatu teori yang dihasilkan. Menurut Popper, pengujian teori deduktif dapat dilaksanakan sepanjang empat hal: Pertama ada perbandingan logis diantara kesimpulan itu sendiri, sehingga konsistensi intern sistem teruji. Kedua, ada pemeriksaan bentuk logis teori dengan maksud menentukan apakah teori tersebut berkarakter sebagai suatu teori empiris ataukah teori ilmiah, dan ataukah merupakan suatu teori yang bersifat mengulang-ulang saja tanpa memberi penjelasan tambahan. Ketiga, ada perbandingan dengan teori lain, terutama dengan maksud menentukan apakah teori akan membuat suatu kemajuan ilmu pengetahuan yang berarti akan mempertahankan dan meneruskan berbagai pengujian kita, dan akhirnya, ada pengujian teori melalui penerapan empiris beberapa kesimpulan yang dapat diperolehnya darinya.
Langkah terakhir diperlukan untuk menentukan bagaimana teori memenuhi tuntutan praktik.
Pendekatan Induktif
Pendekatan induktif terhadap pembentukan suatu teori dimulai dari pengamatan dan pengukuran dan menuju kearah kesimpulan yang digeneralisir. Apabila diterapkan pada akuntansi, maka pendekatan induktif dimulai dari pengamatan informasi keuangan perusahaan, dan hasilnya untuk disimpulkan, atas dasar hubungan kejadian, kesimpulan dan prinsip akuntansi. Penjelasan-penjelasan deduktif dikatakan berjalan dari khusus kearah umum. Pendekatan induktif pada suatu teori melibatkan empat tahap:
  1. Pengamatan, dan pencatatan seluruh pengamatan
  2. Analisis dan pengklasifikasian pengamatan tersebut untuk mencari hubungan yang berulangkali yakni hubungan yang sama dan serupa
  3. Pengambilan generalisasi dan prinsip akuntansi induktif dari pengamatan tersebut yang menggambarkan hubungan yang berulang kali terjadi
  4. Pengujian generalisasi
Tidak seperti halnya dengan masalah pengambilan secara deduksi, kebenaran atau kepalsuan dalil tidak tergantung pada dalil lain tetapi harus dibuktikan secara empiris. Demikian pula, dapat dikatakan bahwa dalil akuntansi hasil penarikan kesimpulan secara induktif menunjukkan teknik akuntansi khusus yang memiliki probabilitas hampir tinggi.
Beberapa penulis akuntansi bersandar kepada pengamatan praktik akuntansi dalam mengusulkan suatu kerangka teori akutnasi. Tujuan yang mendasari sebagian besar para pemikir ini adalah merasionalisasikan praktik akuntansi untuk menarik kesimpulan secara teoritis serta abstrak. Pembelaan terbaik terhadap pendekatan induktif diberikan oleh usaha Ijiri yang menggeneralisir tujuan yang implisit dalam praktik akuntansi yang berlaku dan mempertahankan pemakaian harga pokok histories. Ijiri menyatakan: Bentuk pemikiran induktif untuk mencapai tujuan yang implisit dalam perilaku suatu sistem yang ada tidak bermaksud untuk mempertahankan status quo. Tujuan penggunaannya adalah untuk menyoroti di mana perubahan-perubahan itu sangat diperlukan dan dimana perubahan itu dimungkinkan terjadi. Perubahan memberi kesan sebagai suatu kesempatan lebih baik untuk dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Pengandaian tujuan kedalam model-model normative atau tujuan yang dilanjutkan dalam pembahasan kebijaksanaan semata-mata sering kali dinyatakan atas dasar keyakinan dan preferensi seseorang, daripada berdasarkan penyelidikan induktif terhadap sistem yang ada. Ini kemungkinan dapat menjadi alasan yang lebih penting mengapa demikan banyak model normatif atau usul kebijaksanaan normatif tidak dilaksanakan dalam praktik. Perumusan dalil sering kali dilakukan dengan pemikiran induktif, dalil umum dirumuskan melalui suatu proses induktif, sementara prinsip dan teknik diperoleh melalui suatu proses deduktif. Itu menegaskan bahwa logika induktif dapat mensyaratkan pemikiran atau logika induktif.
Pendekatan Etis
Inti dasar pendekatan etis adalah terdiri atas konsep-konsep keadilan, kejujuran, dan kebenaran serta kewajaran. Para akuntan menganggap konsep tersebut mempunyai arti yang sama. Sebaliknya, hanya merasakan bahwa justive dan fairness sebagai norma etis, dan memandang truth sebagai suatu pernyataan nilai. Konsep “fairness” (kewajaran). Kewajaran sebagai suatu norma dasar yang dipergunakan untuk penilaian norma lain, karena merupakan satu-satunya yang menunjukkan “pertimbangan etis”.
Spavek satu langkah lebih maju dalam rangka menegaskan keunggulan konsep kewajaran: Suatu pembahasan tentang aktiva, utang, penghasilan, dan biaya belumlah saatnya dan tidak gunanya sebelum menentukan prinsip dasar yang akan menghasilkan suatu penyajian data yang wajar dalam bentuk akuntansi keuangan dan laporan keuangan. Kewajaran akuntansi dan laporan ini harus ada dan untuk masyarakat, dan masyarakat tersebut mewakili berbagai golongan masyarakat kita.
Apapun pengertian yang dikandungnya, kewajaran telah menjadi salah satu dari tujuan dasar akuntansi. The Committeee on Auditing Procedures menunjuk kriteria “kewajaran penyajian” sebagai (1) kesesuaiannya dengan prinsip akuntansi yang diterima umum, (2) keterungkapan, (3) konsisten, (4) dapat dipertimbangkan. Dalam sebuah laporan pemeriksaan tanpa kualifikasi, auditor tidak hanya menyatakan bahwa telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterima umum dan norma pemeriksaan yang telah diterima umum akan tetapi juga menyatakan suatu pendapat dengan kata “menyajikan secara wajar”. Kewajaran merupakan suatu tujuan yang diperlukan sekali dalam pembentukan suatu teori akuntansi apabila apa pun yang dipaksakan pada dasarnya dapat dibuktikan secara logis atau secara empiris dan apabila dioperasionalkan melalui suatu definisi yang memadai dan melalui pengenalan sifat-sifatnya.
Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis perumusan suatu teori akuntansi menekankan pengaruh sosial terhadap teknik akuntansi. Pendekatan ini merupakan suatu pendekata etis yang memusatkan pada suatu konsep kewajaran yang lebih luas, yakni kesejahteraan sosial. Menurut pendekatan sosiologis suatu prinsip atau teknik akuntansi tertentu akan dinilai akseptasinya atas dasar pengaruh pelaporannya terhadap seluruh golongan masyarakat.
Penerapan pendekatan sosiologis yang tepat terhadap pembentukan teori akuntansi kemungkinan sulit diketemukan. Oleh karena adanya kesulitan-kesulitan dan penentuan informasi yang diperlukan rakyat tersebut yang membuat pertimbangan kesejahteraan. Pendekatan sosiologis dalam perumusan teori akuntansi telah membantu evolusi suatu cabang akuntansi baru, yang disebut Akuntansi Sosioekonomi. Tujuan utama sosioekonomi adalah mendorong badan usaha berfungsi dalam suatu sistem pasar bebas untuk mempertangggungjawabkan aktivitas produksinya sendiri terhadap lingkungan sosial melalui pengukuran, internalisasi dan pengungkapan dalam laporan keuangan.
Pendekatan Ekonomi
Pendekatan ekonomi terhadap suatu teori akuntansi menitikberatkan pengendalian perilaku indikator makro ekonomi yang diakibatkan oleh pemakaian berbagai teknik akuntansi. Sementara pendekatan etis memfokuskan pada suatu konsep “kewajaran” dan pendekatan sosiologis memfokuskan pada suatu konsep “kesejahteraan sosial”, pendekatan ekonomi memfokuskan pada suatu konsep “kesejahteraan ekonomi umum”. Kriteria umum yang digunakan oleh pendekatan makro ekonomi adalah (1) kebijaksanaan dan teknik akuntansi harus mencerminkan “realitas ekonomi”, dan (2) pemilihan teknik akuntansi harus tergantung kepada “konsekuensi ekonomi”. “Realitas ekonomi” dan “konsekuensi ekonomi” merupakan istilah yang telah sekali untuk digunakan di dalam menunjukkan keuntungan pendekatan makro ekonomi.
Pemerintah memperjuangkan pemakaian metode penanggulangan atas dasar alasan bahwa metode tersebut memperlemah pengaruh insenti suatu alat kebijaksanaan fiskal. Oleh karena itu, dalam rangka penentuan norma akuntansi, pertimbangan-pertumbangan yang dinyatakan oleh pendekatan ekonomi lebih bersifat ekonomis daripada operasional.

C.    Pendekatan yang Digunakan dalam Studi Ini
Berpijak pada urgensi dan kegunaan penelitian ini, maka upaya rasional, penentuan kebenaran hakekat dan eksistensi akuntansi tersebut perlu diteliti dengan metode penelitian yang tepat. Ketepatan metode penelitian tersebut akan tercermin pada tahap-tahap penelitian yang dilalui.
Buku ini ditulis untuk menemukan rasionalitas dan kebenaran hakikat, pengetahuan dan praktik akuntansi, maka kajian teori kritis akan digunakan, yang penerapannya dilakukan melalui dua tahapan, yaitu: tahap deskriptif dan tahap evaluatif / kritik. Kedua tahap kajian ini masing-masing menggunakan metode yang berbeda, sesuai dengan esensi permasalahan penelitian ini.
a)      Tahap deskriptif
Tahap deskriptif adalah tahap penyajian data yang didasarkan pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Tahap deskriptif adalah tahap untuk mengetahui hakikat sesuatu. Untuk itu, kajian selanjutnya akan dikombinasikan dengan kerangka dasar filsafat ilmu. Ontologi menyangkut tentang hakikat apa yang dikaji atau science of being qua being”. Epistimologi adalah berkaitan dengan bagaimana cara ilmu pengetahuan melakukan pengkajian dan menyusun tubuh pengetahuannya atau studi filsafat yang membahas ruang lingkup dan batas-batas pengetauan. Metodologi digunakan untuk menguji metode-metode yang digunakan atau yang akan digunakan untuk menghasilkan pengetahuan yang valid. Sementara aksiologi adalah tiang penyangga filsafat ilmu yang berkaitan dengan kegunaan ilmu yang telah tersusun itu dipergunakan atau theory of value.
Berdasarkan tiga sisi tersebut selanjutnya dapat dilakukan analisis terhadap esensi ilmu pengetahuan. Akuntansi akan memberikan informasi yang sangat dibutuhkan manajemen dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, yaitu: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Fungsi-fungsi tersebut merupakan fenomena yang akan menjadi kajian keilmuan terutama yang berkaitan dengan hakikat dari sudut pandang syari’ah Islam.
b)      Tahap evaluatif
Metode yang digunakan pada tahap evaluatif adalah metode analitik kritis-rasional. Metode ini diterapkan mengingat pada tahap ini dilakukan upaya membandingkan konsep akuntansi Barat dengan konsep Akuntansi Syariah. Seperti halnya dalam upaya mengkaji atau membangun teori sosial, termasuk teori akuntansi, maka proses berfikir analisis: kritis dan rasional sangat dituntut. Dalam penelitian akuntansi pendekatan kritis (critical studies) merupakan salah satu pendekatan yang disarankan untuk diterapkan. Banyak istilah yang disarankan, sebagaimana diungkapkan oleh Lodh, bahwa: “There are many labels for ‘critical accounting’ or ‘critical studies in accounting research”. Sebagai contoh, Macintosh menggunakan istilah critical accounting movement, Cooper & Hopper menggunakan istilah critical accounting walaupun sebelumnya mereka menggunakan istilah critical studies. Sementara Neimark and Tinker memakai istilah critical accounting literature. Kemudian Laughlin menggunakan istilah critical theory yang digunakan untuk memaknai istilah critical sosial theory khususnya teori kritis yang berasal dari German.
Istilah-istilah yang disampaikan di atas, mengandung perbedaan terminology jika akan diterapkan pada kajian teori akuntansi dan penelitian akuntansi. Melalui pendekatan critical theory kita akan melihat suatu teori itu bukan saja terletak pada upaya menempatkan ideologi sebagai ‘bentuk pemikiran’ akan tetapi juga akan mencoba mengkaji tentang bagaimana kondisi sosial, seperti sistem akuntansi yang dikembangkan oleh kaum kapitals, terpenuhinya kepuasan kebutuhan hidup, dan kebebasan diri dari kondisi sosial masyarakat yang rentan.
c)      Metode pengumpulan data
Sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka data yang digunakan adalah berupa pernyataan-pernyataan ahli yang relevan. Dengan demikian teknik pengambilan sampel data adalah dengan purposive sampling/data, yang selanjutnya didukung dengan teknik analisis is (content analysis). Teknik ini menurut Bogdan dan Biklen (1982) yang dikutip Syafi’ie dimaksudkan untuk pengambilan sampel internal (internal sampling). Internal sampling yaitu keputusan yang diambil begitu peneliti memiliki suatu pikiran umum tentang jumlah dokumen serta macamnya yang akan dikaji, dengan siapa akan berbicara dan kapan akan melakukan observasi.
Penggalian data primer mula-mula dilakukan dengan mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan istilah perhitungan (hisab), keseimbangan, pertanggungjawaban, kemudian membuat outline dalam rangka menentukan ayat-ayat yang secara langsung berkaitan dengan ayat-ayat yang tidak secara langsung mengungkap tentang hisab, yang dalam penggaliannya menggunakan teknik dokumentasi murni. Sedangkan untuk mengumpulkan data sekunder dilakukan dengan mencari pokok-pokok pikiran yang ditulis oleh pemikir atau ilmuwan yang telah ditulis dalam rangka menemukan esensi tentang konsep akuntansi. Dalam penelitian kualitatif, pada tahap analisis setidak-tidaknya ada tiga komponen pokok yang harus disadari oleh peneliti, yaitu : data reduction, data display dan conclusion drawing (Miles & Huberman, 1984: Sutopo, 1988). Tiga komponen tersebut saling berhubungan dengan dan saling mendukung. Sehubungan dengan permasalahan akuntansi maka Gaffikin menyarankan empat tahapan yang harus dilalui oleh peneliti dalam menerapkan metodologi analisis. Keempat tahapan tersebut adalah: logical, environmental, ideological, dan linguistic. Masing-masing tahapan tersebut saling berkaitan erat satu dengan yang lain. Oleh karena itu, keberhasilan konstruksi teori ini akan menemukan kecocokan kriteria pada semua bidang.

Dasar Hukum Akuntansi Syariah
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma (kesepakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu), dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi dalam Islam, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat Islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
1.   Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
2.   Modal dalam konsep Akuntansi Konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
3.   Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
4.   Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
5.   Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
6.   Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
Komponen laporan keuangan entitas Syariah meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan dana investasi terikat, laporan sumber dan penggunaan dana zakat, laporan sumber dan penggunaan dana qardh dan catatan atas laporan keuangan. Sedangkan komponen laporan keuangan konvensional tidak menyajikan laporan perubahan dana investasi terikat, laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta laporan sumber dan penggunaan dana qardh.[2]

TEORI AKUNTANSI SYARIAH
A.    Akuntansi dalam Kerangka Islam
Setelah kita kaji keberadaan sistem akuntansi kapitalis, dapat ditemukan beberapa persoalan tersebut utamanya berkaitan denga hal kepemihakan, konsep dasar, standar, dan metode akuntansi. Akuntansi pada dasarnya akan selalu berhubungan dengan distribusi aktiva perusahaan, hak residual atas aktiva pada saat likuidasi dan hak ekuitas (kekayaan) pada perusahaan yang sedang berjalan baik. Kesemuanya ini merupakan tujuan penting yang hendak dicapai dalam penyajian value added statement atau laporan nilai tambah, yang dalam teori akuntansi konvensional sama dengan laporan laba rugi.
Pada saat kita mngkaji ilmu atau teori akuntansi syari’ah tidak dapat ditinggalkan kerangka teori akuntansi konvensional. Sehubungan dengan hal tersebut, secara konvensional ada banyak teori yang berkaitan dengan pembahasan kekayaan pemilik.
  1. Teori pemilikan (Proprietary Theory)
Teori ini menyatakan bahwa akuntansi terjadi karena bentukan dari persamaan dasar sebagai berikut:
Asets - Liabilities = Modal
Artinya modal adalah sama dengan harta dikurangi utang. Dalam hal ini, pemilik adalah pusat perhatian. Aktiva dianggap dimiliki oleh pemilik dan kewajiban / utang adalah kewajiban pemilik. Tanpa memandang mengenai perlakuan utang, pemilikan dipandang sebagai nilai bersih kesatuan usaha kepada pemilik. Pada saat perusahaan didirikan, nilai tersebut akan sama dengan investasi pemilik. Selama hidup perusahaan, akan terus sama dengan investasi awal dan tambahan investasi serta akumulasi laba bersih di atas jumlah yang diambil oleh pemilik. Inilah yang kemudian disebut dengan konsep kekayaan. Teori ini berpendapat bahwa pendapatan adalah kenaikan atas hak pemilik, sedangkan biaya adalah penurunan. Dengan demikian laba bersih akan secara langsung menjadi hak pemilik dan mencerminkan kenaikan kekayaan pemilik dan karena laba adalah kenaikan kekayaan, maka segera pula ditambahkan kepada modal pemilik.
Pajak perseroan diperlukan secara dengan agen dari pemegang saham yang menganggap bahwa perseroan adalah agen dari pemegang saham dalam pembayaran pajak yang nyata-nyata pajak penghasilan dari pemegang saham. Konsep laba komprehensip ini didasarkan pada proprierty theory karena laba bersih berisi semua unsur yang mempengaruhi pemilikan selama satuan periode terkecuali pembagian dividen dan tansaksi modal. Teori ini lebih menekankan pada hakikat perubahan terhadap pemilikan dan klasifikasinya dalam neraca. Teori ini merupakan teori akuntansi yang paling kunoi, dan banyak konsep akuntansi yang dikembangkan dari teori ini.
  1. Teori kekayaan (Entity Theory)
Teori ini menganggap bahwa perusahaan memiliki eksistensi yang terpisah. Pemisahan ini terjadi pada kepentingan pemiliki dan pemegang ekuitas yang lain. Pendiri dan pemilik perusahaan tidak perlu diidentifikasikan dengan eksistensi perusahaab. Teori ini didasarkan pada persamaan:
Asets = Equities
Ekuitas pada dasarnya adalah utang ditambah dengan hak pemegang saham. Elemen yang ada pada sisi kanan kadang-kadang disebut sebagai kewajiban, tetapi sebenarnya merupakan pemilikan dengan hak yang berbeda terhadap perusahaan. Apa bedanya utang dan hak pemegang saham. Perbedaan utama antara utang dan hak pemegang saham berkait dengan penilaian atas hak kreditor yang dapat ditentukan secara terpisah bila perusahaan bubar, sedangkan hak para pemegang saham diukur dengan penilaian aktiva mula-mula yang ditanamkan ditambah dengan laba yang diinvestasikan kembali dan revaluasi yang terjadi sesudahnya. Namun demikian hak untuk menerima pembayaran dividen dan bagian dari aktiva bersih pada saat likuidasi adalah hak sebagai pemegang hak pemilikan dan bukan sebagai pemilik atas aktiva tertentu. Teori ini memandang utang adalah kewajiban khusus dari perusahaan dan aktiva mencerminkan hak perusahaan untuk menerima barang, jasa atau manfaat yang lain.
  1. Fund Theory
Berbeda dengan teori proprietry, teori fund melepaskan hubungan personal yang dianut oleh teori proprietory dan personalisasi perusahaan sebagai kesatuan ekonomi yang dibuat sah pada entity theory. Fund theory menggantinya dengan kesatuan kegiatan yang orientasi kegiatan sebagai landasan akuntansi.
Aktiva = Pembatasan Aktiva
Aktiva mencerminkan prospek jasa bagi unit operasional. Utang merupakan pembatasan terhadap aktiva khusus ataupun aktiva secara umum. Modal yang ditanamkan merupakan pembatasan yang legal ataupun financial terhadap penggunaan aktiva, sehingga modal yang ditanamkan harus dijaga keberadaannya, bila tidak terdapat likuidasi sebagian ataupun secara keseluruhan. Dengan demikian, dalam teori ini semua ekuitas mencerminkan pembatasan yang dilakukan secara legal, kontrak, manajerial, dan finansial. Konsep ini bermanfaat sekali bagi perusahaan yang tidak mencari laba. Seperti lembaga pemerintah, universitas, rumah sakit, lembaga sosial.

B.     Teori Akuntansi Syariah
Ada suatu perubahan luar biasa dalam kancah bidan ilmu akuntansi untuk beberapa decade belakangan ini. Sebelum tahun 1970-an ada anggapan tentang akuntansi sebagai ilmu pengetahuan dan praktik yang bebas dari nilai (value free) sudah mulai digoyang keberadaannya.
Pada era informasi dan globalisasi dalam bidang akuntansi ada upaya harmonisasi praktik-praktik akuntansi. Praktik akuntansi di setiap negara dianggap menyulitkan dalam menafsirkan laporan keuangan, atau praktik akuntansi yang ebragam itu tidak dapat diperbandingkan (uncomparable). Kasus ini mengundang reaksi banyak kalangan, sehingga muncullah pandangan-pandangan yang bersifat pro dan kontra. Mereka yang berpandangan kontra mengecam bahwa tindakan untuk melakukan harmonisasi merupakan tindakan pelecehan terhadap nilai-nilai lokal. Mereka justru melihat bahwa sebetulnya lingkungan (non value-free). Bahkan ada yang mengatakan akuntansi adalah “anak” yang lahir budaya setempat (lokal). Pandangan kedua, memang secara eksplisit menolak pandangan pertama yang bersifat fungsionalis dan positivistic, kalau ditelusuri ke belakang akar pemikiranya berasal dari August Comte.
Berpijak dari kasus di atas, usaha untuk mencari bentuk akuntansi yang berwajah humanis, emansipatori, transendental, dan teologikal merupakan upaya yang niscaya. Akuntansi syariah, menurut Iwan Triyuwono dan Gaffikin dikatakan, merupakan salah satu upaya mendokontyksi akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan sarat nilai. Tujuan diciptakannya akuntansi syariah adalah terciptanya peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental, dan teologikal. Dengan cara demikian, realitas alternatif diharapkan akan dapat membangkitkan kesadaran diri secara penuh akan kepatuhan dan ketundukan seseorang kepada kuasa Allah. Berkaitan dengan persoalan perubahan teori ekuntansi, maka akuntansi akan berubah ke paradigma baru yang sejauh ini belum jelas lagi. Dalam konteks demikian, Takatera dalam pengantarnya menyajikan dua strategi pengkajian hakikat akuntansi sebagai berikut:
  1. Jika studi akuntansi deskriptif berkembang dalam suasana terisolasi dari strategi intelektual untuk mengubah akuntansi sekarang, hal ini akan membenarkan akuntansi yang dulu dan sekarang bukan menginterpretasikannya. Sebaliknya jika studi akuntansi normatif dikembangkan dalam suasana terisolir tanpa memperdulikan masyarakat dan masalah organisasi di mana akuntansi dipraktikkan, maka hal ini akan berakibat kegagalan percobaan sebab tidak akan berakibat kegagalan percobaan sebab tidak akan diterima oleh masyarakat kendatipun jika ini dapat menjelaskan ‘akuntansi untuk apa yang tidak boleh’. Kemudian adalah penting menggabungkan studi akuntansi deskriptif dengan studi akuntansi normatif untuk memberikan pemahaman baru tentang apa akuntansi dulu, apa akuntansi sekarang dan menciptakan apa akuntansi di masa yang akan datang.
  2. Jika akuntansi yang dimaksud adalah akuntansi “what should be” sebagai kelanjutan dari akuntansi “what it is”, dengan jalan yang tidak akan pernah berhenti, kita tidak akan dapat membentuk akuntnasi “what it is” walaupun kita dapat menawarkan interpretasi baru, terhadap apa akuntansi “what it was” dan apa akuntansi sekarang (what it is)… Strategi untuk membuat isu sekarang jelas harus berhadap dengan crita akuntansi yang akan datang, yaitu menciptakan akuntansi “what should be”. Sebagai ganti dari “what it is” di bidang yang kita hentikan keberadaannya.

C.    Praktik Akuntansi Syariah
Kemunculan dan perkembangan lembaga keuangan Islam di Indonesia yang sangat fenomenal, telah memicu loahirnya diskusi-diskusi serius lebih lanjut, mulai dari produk atau jasa yang ditawarkan, pola manajemen lembaga, sampai kepada pola akuntasinya. Menariknya akuntansi untuk dibahas, tentu karena adanya beberapa alasan. Pertama: akuntansi selama ini dikenal sebagai alat komunikasi, atau sering diistilahkan sebagai bahasa bisnis. Kedua: akuntansi sering diperdebatkan apakah ia netral atau tidak. Ketiga, akuntansi sangat dipengaruhi oleh lingkungan (politik, ekonomi, budaya) di mana ia dikembangkan; dan Keempat, akuntansi mempunyai peran sangat penting, karena apa yang dihasilkannya, bisa menjadi sumber atau dasar legitimasi sebuah keputusan penting dan menentukan.
Pada tatanan teknis operasional, akuntansi syariah adalah instrumne yang digunakan untuk menyediakan informasi akuntansi yang berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Selain dari pada itu, kita mendapatkan hal pokok lain dalam ibadah Islam. Menurut Qadharwi ditegaskan: …..bagian ibadah Islam yang pokok iyu, adalah satu ibadah khusus yang istimewa, yang pada kenyataannya merupakan bagian dari sistem keuangan dan ekonomi dalam pandangan Islam otulah ibadah zakat. Dalam bagian dosa besar yang diharamkan dengan pengharaman yang sangat kuat, kita menemukan dosa besar agama, yang tergolong ‘tulang belikat” sistem ekonomi bagi sebagian besar umat manusia, baik dahulu maupun sekarang. Itulah riba di mana Rasulullah SAW telah melaknati para pemakannya, pemberinya, penulisnya, dan kedua saksinya.
Dengan demikian jelas, bahwa upaya kita menemukan format teori maupun praktif ekonomi (manajemen dan akuntansi Islam) harus dilandaskan pada Islam sebagai sesuatu yang integral. Sebagai turunan dari uraian di atas, barangkali uraian tentang keputusan ekonomi yang dihasilkan oleh akuntansi syariah adalah bercirikan sebagai berikut:
  1. Menggunakan nilai etika sebagai dasar bangunan akuntansi
  2. Memberikan arah pada, atau menstimulasi timbulnya, perilaku etis
  3. Bersikap adil terhadap semua pihak,
  4. Menyeimbangkan sifat egoistic dengan altruistik, dan
  5. Mempunyai kepedulian terhadap lingkungan
Berdasarkan landasan dan ciri-ciri tersebut di atas, maka diharapkan akuntansi syariah akan mempunyai bentuk yang lebih sempurna bila dibandingkan dengan akuntansi konvensional. Sebab melalui ciri-ciri tersebut tercermin sesuatu yang sarat akan tanggung jawaban, nilai-nilai sosial dan jelas. Sebab disadari bahwa pada tatanan yang lebih teknis, yaitu dalam bentuk laporan keuangan, akuntansi syariah masih mencari bentuk. Di dalam tesis ini, bentuk konkrit akuntansi syariah secara utuh belum dapat ditampilkan, sebab untuk sampai pada tataran praktik dan bentuk laporan keuangan yang utuh memerlukan dukungan teori yang lengkap dan kuat.
Memang harus diakui, tidak banyak pemikir yang memiliki kepedulian mengembangkan akuntansi berdasarkan nilai-nilai Islam. Beberapa pemikir yang dapat dicontohkan disini misalnya: Gambling dan Karim (1991); Baydoun dan Willet (1994). Menurut penilaian Gambling dan Karim, bahwa pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk membangun akuntansi (kebanyakan) adalah dengan pendekatan.
                                                                                                
Persamaan dan perbedaan lembaga keuangan syari’ah dan konvensional
Meskipun lembaga keuangan syariah dan lembaga keuangan konvensional memiliki banyak perbedaan, namun tidak menutup kemungkinan tentang persamaannya. Persamaan lembaga keuangan syari’ah dengan konvensional meliputi: (1) teknis penerimaan uang; (2) mekanisme transfer; (3) teknologi computer yang digunakan; (4) syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KT, NPWP, proposal dan lain sebagainya.
Perbedaan lembaga keuangan syariah dengan konvensional meliputi: pertama, aspek akad (transaksi) dan legalitas; Setiap lembaga keuangan syariah keuangan dalam lembaga keuangan syariah, baik dalamhal barang, praktisi transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentauan lembaga keuangan syariah, seperti rukun dan syaratnya. Kedua, bisnis dan usaha yang dibiayai; terdapat saringan kehalalan, kemanfaatan dan kemaslahatan. Untuk menentukan kehahalan, kemafaatan dan kemaslahatan dapat diidentifikasi melalui pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a.       Apakah objek pembiayaan halal atau haram?
b.      Apakah proyek menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat?
c.       Apakah proyek berkaitan dengan pebuatan mesum / asusila?
d.      Apakah protek berkaitan dengan perjudian?
e.       Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata illegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal?
f.       Apakah proyek dapat merugikan syi’ar Islam, baik secara langsung atau tidak langsung?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak bersifat absolute. Artinya pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa saja bertambah seiring dengan perkembangan jaman yang ada. Hal lain yang harus ditunjukkan oleh LKS adalah lingkungan kerja (corporate culture) yang berbeda dengan LKK. Lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah dalam hal etika, misalnya: (a) amanah (dapat dipercaya); (b) shiddiq (benar); (c) fathonah (cerdas dan professional); (d) tabligh (mampu melaksanakan tugas secara team-work di mana informasi merata di seluruh fungsional organisasi.
Lingkungan kerja dan corporate culture adalah cara berpakaian dan bertingkah laku, misalnya rapa, sopan dan menutup aurat, lemah lembut, akhlaq yang baik menghadapi nasabah, membudayakan senyum (bagian dari shadaqah), struktur organisasi, keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi operasional Lembaga Keuangan Syariah dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. Untuk memperjelas perbedaan LKS dan LLK dibicarakan pada pembahasan selanjutnya. Dari uraian diatas tampak bahwa lembaga keuangan syariah memiliki karakter yang berbeda dengan lembaga keuangan konvensional pada umumnya, meskipun ada kesamaan dalam hal-hal tertentu.








DAFTAR PUSTAKA

Drs. Muhammad, M.Ag., Pengantar Akuntansi Syari’ah. Salemba Empat, Jakarta, 2002.

_________________, Pengantar Akuntansi Syari’ah Edisi 2, Salemba Empat, Jakarta, 2004.

Triyuwono Iwan, Perspektif, Metolodologi dan Teori Akuntansi Syari’ah, Raja Granfindo Persada, Jakarta, 2006.
























TEORI
AKUNTANSI SYARI’AH

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Akuntansi Syariah

Dosen Pembimbing:
Sri Dwi Estiningrum, SE.Ak.MM












Disusun oleh :
Nila Uswatul Husna
3221083028




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUNGAGUNG

 
APRIL 2009


[1] Tiga dimensi ini digabungkan dengan symbolic interactionism sehingga menjadi “extendedsymbolic interactionism yang kemudian dijadikan alat untuk menganalisis (Triyuwono 1995; 2000a) fakta-fakta empiris.

Leave a Reply