PERIKATAN DAN PERJANJIAN


MAKALAH
“PERIKATAN & PERJANJIAN (AL-UQUD)”

Di susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Fiqh Muamalah”

Dosen Pembimbing :
Qomarul Huda, M.Ag


Disusun Oleh :

Kelompok II
1.     AYU ANDRIANI                             : 3223113019
2.     BINTI MASKURUN              : 3223113023
3.     CITRA MULYA SARI                   : 3223113024

Jurusan Syariah / Prodi Perbankan Syariah / III-A


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)   TULUNGAGUNG
OKTOBER 2012

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Dilihat dari segi sumbernya, perikatan itu ada yang lahir dari undang-undang dan ada yang lahir dari perjanjian serta sumber-sumber lain yang ditunjuk oleh undang-undang. Bagian hukum yang mengatur berbagai perikatan yang lahir dari bermacam-macam sumber dinamakan hukum perikatan. Sedangkan hukum perjanjian adalah salah satu bagian dari hukum perikatan, yaitu bagian hukum yang mengatur perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian saja.
Apabila dua orang atau pihak saling berjanji untuk melakukan atau memberikan sesuatu berarti masing-masing orang atau pihak mengikatkan diri kepada orang lain untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka perjanjikan, dengan demikian timbul ikatan serta hak dan kewajiban diantara keduanya.
B.    Rumusan Masalah
1.      Apa pemgertian akad?
2.      Sebutkan rukun- rukun akad!
3.      Sebut dan jelaskan syarat- syarat akad!
4.      Apa macam dari akad?
5.      Jelaskan apa pengertian khiyar serta jelaskan macamnya?
6.      Bagaimana suatu akad bisa berakhir?

C.    Tujuan
-          Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang  akad dan khiyar
-          Untuk mengetahui rukun, syarat dan macam akad serta macam khiyar
-          Untuk memahami alasan berakhirnya suatu akad.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian  Akad
  Istilah “ perjanjian “  dalam hukum  Indonesia  disebut  “akad” dalam hukum islam. Kata akad berasal dari kata al-aqd yang berarti mengikat , menyambung  atau  menghubungkan (ar-rabt).[1] Akad  diartikan sebagai “janji (al-‘ahd)” sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imran   ayat 76: 
الْمُتَّقِينَ يُحِبُّ اللَّهَ فَإِنَّ وَاتَّقَى بِعَهْدِهِ أَوْفَى مَنْ بَلَى
“(bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)  nya dan bertaqwa. Maka sesungguhnya alloh menyukai orang-orang yang bertaqwa.”[2]
Secara istilah (terminologi) , pengerian akad dapat dilihat  dari pengertian khusus dan umum 
       Secara umum:
                 “setiap yang diinginkan manusia untuk mengerjakannya baik keinginan tersebut berasal dari kehendaknya sendiri , misal dalam hal wakaf , atau kehendak tersebut timbul dari dua orang , misalnya dalam hal hal jual beli , ijarah”.[3]
       Secara khusus:
                 “perikatan yang ditetapkan dengan ijab kabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada obyeknya.”[4]
     Sebagai  salah satu hukum islam , ada beberapa definisi yang diberikan kepada akad (perjanjian):
1.      Menurut pasal 262 mursyid al hairan, akad merupakan “ pertemuan ijab yang   diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak yang menimbulkan akibat hukum dari obyek akad.”[5]
2.      Menurut syamsul anwar ,akad merupakan “ pertemuan antara ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada obyeknya.” [6]

B.    Rukun Akad
1.      Aqid (Orang yang menyelenggarakan akad).
       Aqid adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi, atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak, seperti dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan pembeli. Ulama fiqh memberikan persyaratan atau criteria yang harus dipenuhi oleh aqid antara lain:
-          Ahliyah
Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal. Berakal disini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz disini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan.
-          Wilayah
Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar’i untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang terpenting, orang yang melakukan akad harus bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas.
2.      Ma’qud ‘Alaih (objek transaksi)
Ma’qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
·  Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
·  Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
·  Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.
·  Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
·  Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.
3.      Maudhu’ al-‘aqd
            Yaitu tujuan pokok dalam melakukan akad. Dalam akad jual beli, tujuan pokoknya adalah memindahkan barang dari pihak penjual ke pihak pembeli dengan disertai gantinya(uang/barang).
4.      Shighat,
            Shighat yaitu Ijab dan Qobul. Ijab Qobul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau akad. Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun menerima, sedangkan qobul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridhaan atas ucapan orang yang pertama.
            Menurut ulama selain Hanafiyah, ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda, baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan Qobul adalah pernyataan dari orang yang menerima.
            Dari dua pernyataan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad Ijab Qobul merupakan ungkapan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi atau kontrak atas suatu hal yang dengan kesepakatan itu maka akan terjadi pemindahan ha kantar kedua pihak tersebut.
            Dalam ijab qobul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut :
a. adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak.
b. Adanya kesesuaian antara ijab dan qobul
c. Adanya pertemuan antara ijab dan qobul (berurutan dan menyambung).
d. Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak       menunjukkan penolakan dan pembatalan dari keduannya.

Ijab Qobul akan dinyatakan batal apabila :
a. penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli.
b. Adanya penolakan ijab dari si pembeli.
c. Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan qobul dianggap batal.
d. Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah -nya sebelum terjadi kesepakatan
e. Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan.

C.    Syarat- syarat Akad
      Setiap pembentuk aqad atau akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’  yang wajib di sempurnakan, syarat-syarat terjadinya  terjadinya akad ada dua macam, yaitu:
a.      Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
b.      Syarat-syarat yang bersifat khusus , yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad , syarat khusu ini bisa disebut syarat idhafi (tanbahan) yang harus ada disamping syarat-ayarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan. [7]
Syarat umum yang wajib dipenuhi dalam dalam berbagai macam akad:
1.      Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli), maka tidak sah orang yang tidak cakap bertindak , seperti orang gila.
2.      Yang dijadikan obyek akad dapat menerima hukumnya.
3.      Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melekukannya, walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
4.      Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’
5.      Akad dapat memberikan faidah, maka tidaklah sah bila rahn dianggap sebagai imbangan amanah.
6.      Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul, maka orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabulnya, maka batallah kabulnya.
7.      Ijab dan kabul mesti bersambung, maka bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul maka ijab tersebut menjadi batal.[8]

D.    Macam- macam Akad
                   Setelah dijelaskan syarat-syarat akad, pada bagian ini akan dijelaskan macam-macam akad , yaitu:
1.      ‘Aqad  Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanan akad ialah pernyatan yang tidak disertai dengan syarat-syarat  dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
2.      ‘Aqad  Mu’allaq ialah akad yang didalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, seperti penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
3.      ‘Aqad  Mudhaf ialah akad yang dalam pelaksanannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, penyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan, perkatan ini sah  dilakukan pada waktu akad, tapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan .
Perwujudan akad tampak nyata pada dua keadaan, yaitu:
1.      Dalam keadaan muwadla’ah (taljiah) kesepakan dua orang secara rahasia untuk tuk akmengumumkan apa yang tidak sebenarnya, hal ini ada tiga bentuk, yaitu:
a.       Bersepakat secara rahasia sebelum melakukan akad, bahwa mereka berdua akan melakukan jual beli atau yang lainnya  secara lahiriah saja, untuk menimbulkan sangkaan orang lain bahwa benda tersebut telah dijual, seperti menjual harta untuk  menghindari penguasa yang zhalim atau penjualan harta untuk menghindari pembayaran hutang, hal ini disebut mu’tawadlah pada asal akad.
b.      Mu’awadlah  terhadap benda yang digunakan untuk akad, seperti dua orang gantbersepakat menyebut mahar dalam jumlah yang besar dihadapan naib, wali  pengantin laki-laki  dan wali pengantin wanita sepakat untuk menyebut dalam jumlah besar, sedangakan mereka sebenarnya telah sepakat pada jumlah yang kecil dari jumlah yang disebutkan dihadapan naib, hal ini disebut juga muwadla’ah fi al-badal.
c.       Mu’wadlah pada pelaku (isim musta’ar) ialah seseorang yang secara lahiriah membeli suatu barang atas  namanya sendiri, secara batiniah untuk keperluan orang lain , seperti seseorang imembeli mobil atas namanya kemudian diatur surat-surat dan keperluan-keperluan lainnya setelah selesai semuanya dia mengumumkan bahwa akad yang dia lakukan sebenarnya untuk orang lain pembeli hanyalah  merupakan wakil yang membeli dengan sebenarnya hal ini sama dengan wakalah  sirriyah (perwakilan rahasia).
2.      Hazl ialah ucapan-ucapan yang dikatakan secara main-main, mengolok-olok(istihza) yang tidak dikehendaki  adanya akibat hukum dari akad tersebut. Hazl barwujud dalam beberapa bentuk antara lain dengan muwadla’ah yang terlebih dahulu dijanjikan, seperti kesepakatan dua orang yang melakukan akad bahwa akad itu hanya main-main atau disebut dalam akad seperti seseorang berkata: “ buku ini pura-pura saya jual kepada anda “ atau dengan cara-cara lain yang  menunjukkan karinah hazl.
Kecederaan-kecederaan kehendak ialah karena:
a.       Ikrah, cacat yang terjadi pada keridlaan
b.      Khilabah, ialah bujukan yang mambuat seseorang penjual suatu benda , terjadi pada akad.
c.       Ghalath, ialah persangkaan yang salah , seperti seseorang membeli sebuah motor ia menyangka motor tersebut mesinya masih normal yang sebenarnya motor tersebut telah turun mesin.
Selain akad munjiz, mu’allaq dan mudhaf macam-macam akad beraneka ragam tergantung dari sudut pandang tujuannya , mengingat ada perbedaan-perbedaan tinjauan, maka  akad akan ditinjau dari segi:
1.      Ada dan tidaknya qismah pada akad, maka akad terbagi manjadi dua bagian:
a.       Akad musammah , yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah dan ijarah.
b.      Akad ghair musammah, yaitu akad yang belum ditetapkan oleh syara’  dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.
2.      Disyariatkan dan tidaknya akad, ditinjau dari segi ini akad terbagi menjadi dua bagian :
a.       Akad musyara’ah  ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara’ seperti gadai dan jual beli.
b.      Akad mamnu’ah ialah akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak binatang dalam perut induknya.

3.      Sah dan batalnya akad , di tinjau dari segi ini terbagi dua:
a.       Akad shahibah, yaitu akad-akad yang mencukupi persyaratannya , baik syarat yang khusus maupun syarat yang umum.
b.      Akad fasihah, yaitu akad-akad yang cacat atau cidera kerana kurang salah satu syarat-syaratnya baik itu syarat umum maupun syarat khusus seperti nikah tanpa wali.,
4.      Sifat bendanya, ditinjaau dari sifat ini benda akad terbagi dua:
a.       Akad ‘ainiyah, yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-barang seperti jual beli.
b.      Akad ghair ‘ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang, karena tanpa penyerehan baranga-barang pun akad sudah berhasil seperti akad amanah.
5.      Cara melakukanya, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian :
a.       Akad yang harus dilaksanakan dengan udpacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi , wali dan petugas pencatat nikah.
b.      Akad ridla’iyah yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhoan dua belah pihak, seperti akad pada umumnya.
6.      Berlaku dan tidaknya akad, dari segi ini dibagi minjadi dua bagian:
a.       Akad nafidzah yaitu akad yang bebas atau terlepas penghalang-penghalang akad.
b.      Akad mauqufah yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan seperti akad fudluli (akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta).
7.      Luzum  dan dapat dibatalkanya, dari segi ini  akad dapat dibagi empat:
a.       Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad kawin, manfaat perkawinan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain , seperti bersetubuh, tapi akad nikah dapat diakhiri dengan cara yang dibenarkan syara’ seperti thalak dan khulu’
b.      Akad  lazim yang menjadi hak kedua belah pihak  dan dapat dipindahkan  dan dirusakkan seperti persetujuan jual beli dan akad-akad lainnya.
c.       Akad lazim yang menjadi hak salah satu pihak , seperti rahn , orang   yang menggadai sesuatu  benda punya kebebasan kapan saja ia akan  melepaskan rahn atau menebus kembali barangnya.
d.      Akad lazimah yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu  persetujuan  salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh yang menitipkan  tanpa  menunggu persetujuan yang menerima titipan atau yang menerima titipan boleh  mengembalikan barang yang dititipkan kepeda yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang menitipkan.
8.      Tukar menukar hak, dari segi ini dibagi menjadi tiga bagian :
a.       Akad mu’awadlah yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti jual beli.
b.      Akad tabarru’at , yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertololongan, seperti hibah .
c.       Akad yang tabarruat pada awalnya dan menjadi akad mu’awadlah pada akhirnya seperti qiradh dan kafalah.
9.      Harus dibayar ganti tidaknya, dari segi ini akad dibagi menjadi tiga bagian:
a.       Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua sesudah benda-benda itu diterima seperti qaradh.
b.      Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda , bukan  yang k oleh yang memegang barang , seperti titipan.
c.       Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu  segi merupakan dlaman, menurut segi yang lain merupakan amanah , seperti rahn(gadai).
10.  Tujuan akad, dari segi tujuannya akad dapat dibagi menjadi lima golongan:
a.       Bertujuan tamlik seperti jual beli.
b.      Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama( perkongsian) seperti syirkah dan mudharabah.
c.       Bertujuan tautsiq (memperkokoh kepercayaan) saja seperti rahn dan kafalah.
d.      Bertujuan menyerahkan kekuasaan seperti wakalah dan washiyah.
e.       Bertujuan mengadakan pemeliharaan , seperti ida’ atau titipan.
11.  Faur dan istimrar, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
a.       Akad fauriyah yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksanaan akad hanya sebebtar saja seperti jual beli.
b.      Akad istimrar disebut pula akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan , seperti i’arah.
12.  Asliyah dan thahi’iyah, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
a.       Akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu dari yang lain , seperti jual beli dan i’arah
b.      Akad  Thahi’iyahyaitu  akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti adanya rahn tidak dilakukan bila tidak adanya hutang.

E.    Pengertian Khiyar
Secara bahasa, khiyar artinya: memilih, menyisihkan, dan menyaring. Secara umum artinya adalah menentukan yang terbaik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi. Sedangkan menurut istilah ulama fiqih, khiyar artinya: Hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya.
F.     Macam- macam Khiyar
1.    Khiyar majlis
           Khiyar majlis artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan
melanjutkan jualbeli atau membatalkannya, selama keduanya masih ada
dalam satu tempat (majlis). Bila keduanya telah terpisah dari tempat
tersebut, maka khiyar majlis tidak berlaku lagi. Dasar ketentuan khiyar
ini adalah sabda Nabi Muhammad SAW berikut:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
"Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama belum
berpisah".
           Pendapat di atas adalah pendapat dari Shafi'iyyah dan Hanabilah.
Sedangan menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, bahwa jika telah terjadi
ijab dan qabul, maka akad jual tersebut menjadi lazim (tetap atau
mengikat), sehingga tidak ada khiyar majlis. Hal ini didasarkan bahwa
Allah memerintahkan untuk menunaikan akad,sedangkan khiyar
tersebut justru menafikannya, dan orang yang membatalkan akad (dengan
melakukan khiyar) adalah orang yang tidak menunaikan akad. Mereka
juga beralasan bahwa akad dapat terlaksana dengan adanya saling
kerelaan, dan kerelaan itu dapat terwujud dengan adanya ijab dan
qabul, sehingga jika telah terdapat ijab dan qabul maka akad
bersifat lazim tanpa harus menunggu berakhirnya khiyar  majlis.
2.    Khiyar  ta'yin
           Khiyar ta'yin adalah hak untuk menentukan bagi seorang yang
melakukan akad antara tiga macam objek transaksi yang berbeda baik
dalam segi harga maupun sifatnya yang telah disebutkan ketika akad.
           Ketika ia telah menentukan satu pilihan maka jadilah barang yang dipilih
tersebut sebagai objek akad. Sebagai contoh, seseorang membeli
pakaian dengan 3 macam pilihan, namun pembeli belum menentukan
pakaian yang akan menjadi pilihannya selama waktu 3 hari atau jangka
waktu tertentu. Dalam jangka waktu ini, pembeli berhak untuk memilih
salah satu pakaian dengan harga yang disepakati dengan penjual.
           Menurut Shafi'iyyah dan Hanabilah, khiyar ini hukumnya adalah
batal atau dilarang karena mengandung unsur ghoror  dalam objek
transaksi. Berbeda menurut pendapat yang lebih diunggulkan di kalangan
Hanafiyyah. Akan tetapi Hanafiyyah menetapkan beberapa syarat sebagai berikut:
a.    Hak pilih hanya berlaku maksimal untuk 3 pilihan objek transksi.
Khiyar tidak dapat terlaksana jika objek pilihan lebih dari tiga.
b.    Barang-barang yang menjadi pilihan tersebut telah ditentukan harganya masing-masing, sehingga yang tidak diketahui perbedaan sifat barang tersebut. Jika barang-barang tersebut sama maka makna khiyar tidak ada. Selanjutnya, jika harga barang masing-masing belum ditentukan maka berarti terdapat unsur  ghoror (ketidakjelasan). Sedangkan ketidakjelasan dalam harga dapat merusak akad (fasid).
c.     Jangka waktu yang disepakati tidak boleh lebih dari tiga hari. Jika lebih dari tiga hari maka akad tersebut menjadi fasid. Jika waktu telah usai maka jual beli menjadi lazim (mengikat), dalam arti pembeli berkewajiban untuk memilih salah satu pilihan dan
menyerahkan harganya kepada penjual.
Hak khiyar ini bisa diwariskan. Jika pembeli meninggal sebelum menentukan pilihannya, maka ahli warisnya harus menentukan pilihan dan menyerahkan harganya setelah jangka waktu berakhir. Berkahirnya khiyar  ta'yin ini, dapat dilakukan
dengan pernyataan langsung dari pembeli misalnya ia mengatakan "aku
menerima barang ini bukan yang lainnya". Juga dapat dilakukan dengan
suatu perbuatan yang menunjukkan bahwa pembeli telah menentukan
pilihan atas barang tertentu. Selain itu, berakhirnya khiyar ini, dapat
terjadi jika salah satu objek rusak di tangan pembeli, dan jadilah barang
yang rusak tersebut sebagai objek akad yang menjadi pilihan dan harus
pembeli bayarkan harganya, sedangkan barang yang lain menjadi amanah
yang wajib ia kembalikan kepada penjual.
3.    Khiyar Syarat
           Khiyar Syarat adalah hak untuk meneruskan atau membatalkan transaksi bagi salah satu pihak atau keduanya dengan syarat dalam jangka waktu tertentu. Pensyari'atan khiyar ini dimaksudkan untuk menghindari penipuan dalam suatu transaksi.
           Jumhur ulama sepakat bahwa jangka waktu yang disyaratkan haruslah diketahui, jika tidak diketahui maka akad tersebut adalah fasid menurut Hanafiyyah dan batil menurut Shafi'iyyah dan Hanabilah. Sedangkan menurut Imam Malik, diperbolehkan melakukan khiyar syarat tanpa memberi batasan jangka waktu.
           Lebih lanjut menurut Shafi'iyyah dan Hanafiyyah, jangka waktu yang disyaratkan tidak boleh lebih dari 3 hari. Sedangkan menurut Hanabilah, jangka waktu tersebut sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak yang bertransaksi dan boleh lebih dari 3 hari.
4.    Khiyar  'aib
           Merupakan hak untuk meneruskan atau membatalkan akad jualbeli karena adanya unsur 'aib (cacat) yang terdapat pada objek akad. Dasar penshari'atan khiyar ini adalah hadith Nabi sebagai berikut:
                                               الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا وَفِيهِ عَيْبٌ إلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
"Orang muslim adalah saudaranya orang muslim. Tidak dihalalkan
bagi orang muslim untuk menjual kepada saudaranya dengan suatu
jualbeli yang di dalamnya terdapat 'aib kecuali apabila ia
menjelaskannya".
لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَبِيعَ شَيْئًا إلَّا بَيَّنَ مَا فِيهِ ، وَلَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ يَعْلَمُ ذَلِكَ إلَّا بَيَّنَهُ
"Tidak dihalalkan bagi seseorang menjual sesuatu kecuali ia
menjelaskan apa yang ada di dalamnya, dan tidak dihalalkan bagi
seseorang yang mengetahui hal tersebut ('aib) kecuali ia
menjelaskannya".

           Hadith-hadith tersebut menunjukkan larangan jualbeli yang di
dalamnya terdapat 'aib kecuali apabila 'aib tersebut dijelaskan. Dengan
demikian ketika terjadi tindakan tadlis al-'aib (salah satu pihak
menyembunyikan 'aib yang terdapat dalam objek), maka dalam hal ini
berlaku ketentuan khiyar  'aib. Ulama Hanafiyyah menyebutnya dengan
khiyar  al-ghubn.
5.    Khiyar ru’yah (melihat)
           Khiyar ru’yah adalah hak pembeli untuk membatalkan atau tetap melengsungkan akad ketika dia malihat obyek akad dengan syarat dia belum melihatnya ketika berlangsung akad, atau sebelunya dia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah terjadi perubahan atasnya.
6.    Khiyar Naqd (pembayaran )
           Khiyar naqd terjadi apabila dua belah pihak melakukan jual beli dengan keetentuan jika pihak pembeli tidak melunasi pembayaran, atau pihak penjual tidak menyerahkan barang dalam batas waktu tertentu. Maka pihak yang dirugikan mempunyai hak untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad.

G.   Berakhirnya Akad
            Berakhirnya akad dapat disebabkan karena fasakh, kematian atau karena tidak adanya pihak lain dalam hal akad mauquf.
a.       Berakhirnya akad karena fasakh. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya fasakh nya akad adalah sebagai berikut:
·         Fasakh karena akadnya fasid (rusak), yaitu jika suatu akad berlangsung secara fasid seperti akad pada ba’i al mu’aqqot atau ba’i al- majhul. Maka akad harus difasakh oleh para pihak yang berakad atau oleh keputusan hakim.
·         Fasakh karena khiyar. Pihak yang mempunyai wewenang khiyar berhak melakukan fasakh terhadap akad jika menghendaki, kecuali dalam kasus khiyar ‘aib setelah penyerahan barang.
·         Fasakh berdasarkan iqalah, yaitu terjadinya fasakh akad karena adanya kesepakatan kedua belah pihak.
·         Fasakh karena tidak adanya realisasi. Fasakh ini hanya terjadi pada khiyar naqd, misalnya karena rusaknya obyek akad sebelum penyerahan.
·         Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terealisasi.
b.      Berakhirtnya akad karena kematian. Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah akad , meskipun para ulama’ berbeda pendapat tentang masalah ini. Akad yang berakhir karena kematian sebagai berikut:
·         Akad dalam ijarah
·         Akad dalam rahn dan kafalah
·         Akad dalam syirkah dan wakalah
c.       Berakhirnya akad kerena tidak adanya izin pihak lain. Akad akan berakhir apabila pihak yang mempunyai wewenang tidak mengizinkannya atau meninggal dunia sebelum ia memberikan izin.
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
-          Kata akad berasal dari kata al-aqd yang berarti mengikat , menyambung  atau  menghubungkan (ar-rabt).
-          Setiap yang diinginkan manusia untuk mengerjakannya baik keinginan tersebut berasal dari kehendaknya sendiri , misal dalam hal wakaf , atau kehendak tersebut timbul dari dua orang , misalnya dalam hal hal jual beli , ijarah.
-          Rukun akad, diantaranya: aqid, ma’qud ‘alaih, maudhu’ al-‘aqd, shighat.
-          Syarat akad ada dua, yaitu syarat yang bersifat umum dan bersifat khusus.
-          Macam- macam akad : ‘aqad Munjiz, ‘aqad Mua’laq, dan ‘aqad Mudhaf.
-          Khiyar menurut bahasa memilih, menyisihkan, dan menyaring. Menurut istilah ulama fiqih, khiyar adalah hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya.
-          Macam- macam khiyar : khiyar majlis, khiyar ta’yin, khiyar syarat, khiyar ‘aib, khiyar ru’yah dan khiyar naqd.
-          Sebab berakhirnya akad ada tiga, diantaranya: karena fasakh, kematian dan tidak adanya izin pihak lain.

B.    Saran
Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang ikut andil wawasannya dalam penulisan ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan.
Semoga Allah SWT membalas semua jerih payah semua pihak yang telah membantu  menyelesaikan makalah ini dan semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.



DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fiqih Muamalat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007.
Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada. 2006.
Chairuman Pasarubi dan Suhrawati K. Lubis. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Cetakan ketiga 2004.
Dimyauddin, Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2008.
Huda, Qomarul.  Fiqh Mu’amalah. Yogyakarta: Teras. 2011.
Suhendi, Hendi.  Fiqh Mu’amalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.
Syafei, Rahmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia. 2006.
Kuliah syari'ah _ Hukum Syari'ah _ Bank Syari'ah _.html.



[1] Hendi suhendi, fiqh mu’amalah (jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2002), h.44-45
[2] Qomarul huda, fiqh mu’amalah (yogyakarta: teras,2011), h. 26
[3] Ibid.
[4] Ibid, h. 27
[5] Syamsul anwar, hukum perjanjian syariah studi tentang teori akad dalam fiqih muamalat, (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 68

[6] Ibid.
[7] Hendi suhendi, fiqh mu’amalah (jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2002), h. 49-50
[8] Ibid, h.50

Leave a Reply