Mnajemen SDM Islam
Manajemen Sumber Daya Manusia Islami
Pada
dasarnya setiap organisasi tidak akan lepas dari keberadaan sumber daya manusia
yang dapat membantu melaksanaan serangkaian aktivitas dalam membantu
melaksanakan serangkaian aktivitas dalam pencapaian tujuan organisasi. Untuk
itu diperlukan pula peran aktif manajer dalam memahami dan mengelola orang-
orang yang ada dalam organisasi.
Pengelolaan sumber daya manusia harus dilakukan secara
efektif dan effisien. Manajemen sumber daya manusia ini tidak saja mengandalkan
pada fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan
pengendalian, namun pada implementasinya, mengandalkan pada fungsi
operasional manajemen SDM seperti rekrutmen, seleksi, penilaian prestasi,
pelatihan dan pengembangan, serta praktek pemberian kompensasi.
Dari sisi
pandangan agama Islam, hal ini juga tidak mengalami perbedaan. Semua Praktek
manajemen sumber daya manusia semuanya dijalankan dengan sebaik- baiknya,
berdasarkan apa yang sudah ada dalam Quran dan Hadist.
Sumber Daya Insani Ekonomi Syariah
Kajian tentang sumber daya
insani akan dimulai dari manusia sebagai makhluk yang sengaja diciptakan oleh
Allah SWT. Manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk (Al Quran Surat At
Tiin(95) ayat 4). Manusia mempunyai unsur yang lebih lengkap, selain dibekali
dengan nafsu juga diberikan akal untuk berpikir, sehingga ia bebas menentukan
jalan mana yang akan dipilih, jalan taqwa atau jalan fujur yang diilhamkan
kepadanya. Potensi lain yang ada pada manusia adalah rasio/pemikiran,
kalbu/hati, ruh/jiwa dan jasmani/raga. Manusia diciptakan oleh Allah adalah
untuk mengabdi kepadanya, sebagaimana tercantum dalam Al Quran Surat Adz Dzariyaat
(51) ayat 56. Mengabdi artinya menghambakan diri kepada Allah. Penghambaan itu
dilakukan dengan ibadah. Ibadah seperti kita ketahui ada ibadah mahdhah yang
berkaitan dengan ibadah kepada Allah dan ibadah ‘ammah atau muamalah yang
berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungannya. Abdi dan ibadah dalam
bahasa Arab berasal dari kata yang serumpun.
Dalam Surat Al Baqarah (2)
ayat 30, Allah menyebutkan, “Sesungguhnya Aku hendak menjadi seorang khalifah
di muka bumi”. Jadi dibumi ini manusia ditugaskan menjadi khalifah-Nya.
Khalifah sendiri berarti wakil atau pengganti. Karena tugasnya yang demikian,
maka manusia sebagai wakil Allah, tidak diperbolehkan berbuat kerusakan di muka
bumi ini. Tugas sebagai khalifah ini merupakan ujian bagi manusia, apakah ia
berhasil atau gagal dalam mengemban misinya (Al Quran Surat Al An’am (6) ayat
165). Manusia (al insan) sebagai khalifah Allah dimuka bumi diberi
tanggungjawab dan amanah untuk memeliharan bumi ini, karena kekhususannya dapat
membedakan yang baik dan yang buruk, diberi ilmu, diberi akal dan diberi
kemampuan.
Tugas kekhalifahan manusia
adalah mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam kehidupan. Tugas ini
adalah dalam rangka pengabdian/ibadah. Dalam hal ini manusia dibekali sistem
kehidupan dan sarana kehidupan. Sistem kehidupan mengatur segala aspek dari
kehidupan manusia yang bersumber dari Al Quran dan Sunnah yang terkenal dengan
hukum lima : wajib, sunat, mubah, makruh dan haram. Sedangkan sarana kehidupan
adalah segala sarana dan prasarana yang diciptakan Allah untuk kepentingan
manusia seperti udara, air, tumbuhan, hewan dan harta benda lainnya. Dalam
bahasa lain sebagai khalifah dan hamba, manusia dibekali syariah dan sumber
daya.
Menurut ajaran Islam, manusia
dikategorikan kedalam tiga golongan, yaitu mukmin, kafir dan munafik. Mukmin
adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang kafir adalah orang
telah tertutup hatinya untuk menerima kebenaran ajaran Allah. Sedangkan orang
munafik adalah orang yang membenarkan ajaran Allah, tetapi tidak mau/enggan
melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Orang mukmin, yaitu orang
Islam dalam Surat Ali Imran (3) ayat 110 dinyatakan sebagai “khaira ummah”,
umat terbaik yang menyuruh kepada hal yang ma’ruf, mencegah dari hal yang
munkar dan beriman kepada Allah. Inilah tantangan bagi setiap muslim untuk
menjadi umat yang terbaik di muka bumi ini.
Berdasarkan pertimbangan
hal-hal diatas kemudian dikembangkan kajian sumber daya manusia dari kacamata
Islam, yang lazim diperkenalkan dengan istilah sumber daya insani.
Karakteristik
Sumber Daya Insani
Dalam kajian sumber daya
insani, manusia sebagai sumber daya penggerak suatu proses produksi, harus
mempunyai karakteristik atau sifat-sifat yang diilhami dari shifatul anbiyaa’
atau sifat-sifat para nabi. Sifat-sifat tersebut dapat disingkat dengan SIFAT
pula, yaitu : shiddiq (benar), itqan (profesional), fathanah (cerdas), amanah
(jujur/terpercaya) dan tabligh (transparan).
Profesional secara syariah
artinya mengelola suatu usaha/kegiatan dengan amanah. Profesionalisme dalam
Islam dijelaskan dalam Al Quran Suat Al Qashash ayat 26. Dalam bisnis Islami
dua faktor yang menjadi kata kunci adalah kejujuran dan keahlian. Syekh Yususf
al Qardhawi dalam bukunya Musykilah al Faqr wa Kaifa ‘alaa Jahara al Islam,
mengatakan al amanah/kejujuran merupakan puncak moralitas iman dan
karakteristik yang paling menonjol dari orang-orang yang beriman.
Suatu motto dalam manajemen
sumber daya manusia adalah menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat
atau the right man on the right place. Al Quran dalam Surat Al Anfal ayat 27
menyebutkan tentang penempatan pegawai, bahwa seseorang tidak boleh berkhianat
dalam menunaikan amanahnya padahal mereka adalah orang yang mengetahui.
Demikian juga dalam Surat An Nisaa’ ayat 58, Allah menyatakan: Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.
Dalam ayat diatas menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya bermaksud memberikan amanat kepada
ahlinya, yaitu orang yang benar-benar mempunyai keahlian dibidang tersebut. Demikian
juga hadits Nabi juga menyebutkan tentang penempatan pegawai sebagaimana
tercantum sebagai berikut:
“Barangsiapa yang bertugas mengatur urusan kaum muslimin, maka diangkatnya seseorang padahal ia masih melihat orang yang lebih mampu untuk kepentingan umat Islam dari yang diangkatnya itu, maka dengan begitu sungguh ia telah khianat kepada Allah dan Rasul-Nya”.“Apabila suatu jabatan diisi oleh yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”.
Menempatkan seseorang sesuai
dengan keahliannya merupakan salah satu karakteristik profesionalisme Islam.
Rasulullah dan para sahabat benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai mulia
ini dalam kepemimpinannya. Rasulullah memilih Mu’adz bin Jabbal menjadi
gubernur di Yaman karena leadership-nya yang baik, kecerdasan dan akhlaknya.
Beliau memilih Umar bin Khattab mengatur sedekah karena adil dan tegasnya,
memilih Khalid bin Walid menjadi panglima karena kemahirannya berperang, dan
memilih Bilal menjaga Baitulmaal karena amanah.
Buya Hamka, ketika menafsirkan
ayat 247 pada Surat Al Baqarah dalam karya terbesarnya Tafsir Al Azhar
menyebutkan di sini Al Quran telah meninggalkan dua pokok dasar buat memilih
orang yang akan menjadi pemimpin, atau memegang puncak kekuasaan. Pertama ilmu,
kedua tubuh. Ayat 247 ini menceritakan bagaimana Allah telah mengangkatkan
Thalut menjadi raja Bani Israil dengan menganugerahkan kepadanya ilmu yang luas
dan tubuh yang perkasa, fil ‘ilmi wal jismi.
Ilmu terpenting yang dimiliki
adalah dalam hal cara mempergunakan tenaga. Pemimpin tidak perlu tahu segala
cabang ilmu, tetapi harus tahu memilih tenaga yang akan ditugaskan untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan. Dalam sejarah Islam, dapat disimak ketika
khalifah Abu Bakar memilih Khalid bin Walid menjadi panglima perang, tetapi
Umar bin Khattab tidak menyetujuinya. Sewaktu Umar menggantikan Abu Bakar
menjadi khalifah, beliau mengganti panglima perang dengan Abu Ubaidah. Sekian
masa berlalu setelah Khalid wafat, mengakulah Umar bahwa Abu Bakar lebih
berilmu daripadanya dalam hal memilih orang.
Pokok dasar yang kedua adalah
tubuh (jismi). Hal ini berkaitan dengan kesehatan, bentuk tampan, yang
menimbulkan simpati. Oleh karena itu banyak ulama fiqh berpendapat bahwa
seseorang yang cacat (invalid) jangan dijadikan pemimpin. Sebagai penutup
pembahasan tentang sumber daya insani ini, perlu direnungkan kenyataan yang
dialami oleh industri bisnis syariah masa kini. Industri syariah adalah salah
satu industri yang sangat cepat perkembangannya di Indonesia, terutama industri
perbankan syariah. Namun, pesatnya perkembangan tersebut kurang diikuti dengan
ketersediaan sumber daya insani yang memadai.
Dr. Syafi’I Antonio M.Ec.,
seorang praktisi dan akademisi ekonomi syariah Indonesia dalam suatu kesempatan
menyatakan bahwa tantangan bank syariah untuk mengejar pertumbuhan dan variasi
produk adalah ketersediaan sumber daya insani yang kompeten. Kompeten dalam hal
ini adalah memahami perbankan secara teknis maupun syariah. Kenyataan di
lapangan yang dihadapi adalah sumber daya insani perbankan syariah mayoritas
adalah para bankir profesional dengan latar belakang pendidikan umum lalu
dididik mengenai sisi syariah dalam waktu singkat. Sehingga tidak sepenuhnya
mendapatkan dari sisi penghayatan dan semangat, selanjutnya mereka mereka
kesulitan mengembangkan produk karena memang memerlukan komptensi khusus.
http://blogs.unpad.ac.id/willson/?p=19