KONSEP DASAR TEORI AKUNTANSI SYARIAH
KONSEP
DASAR TEORI AKUNTANSI SYARIAH
Chua dan Degeling (1993) menggunakan teori aksi komunikasi dengan dimensi
instrumental, moral, dan aesthetic untuk melihat praktik akuntansi di sektor
publik, khususnya helath-care industry di Amerika Serikat. Tiga dimensi atas
sebetulnya merupakan bagian dari teorinya Habermas (1984) tentang Communicative
Action. Dengan alat analisis ini Chua dan Degeling health-care industry
meliputi tiga aspek tadi. Praktik akuntansi di health-care industry dalam
kenyataannya tidak dapat melepaskan diri dari fungsinya sebagai instrument
untuk mengendalikan biaya (cost control), mengukur efisiensi, menguur
productivity gains, dan menilai kinerja. Kemudian, dari penelitian ini juga
dikemukakan bahwa instrumen akuntansi pada dasarnya tidak bebas nilai, tetapi
sebaliknya sarat nilai, sehingga untuk mempraktikkan akuntansi sebagai
instrumen juga harus mempertimbangkan nilai-niai etika yang berlaku di mana
akuntansi tadi dipraktikkan. Demikian juga tentang praktik menerapkan sistem
akuntansi di health-care industry diperlukan unsur seni (aesthetic).
Bab ini sebetulnya tidak dibicarakan tentang praktik akuntansi di
health-care industry, tetapi sekedar memberikan justifikasi penggunaan teori
lain dalam peneltiian akuntansi (baik yang empiris maupun yang konseptual). Di
dunia non-mainstream accounting menggunakan teori lain (selain teori akuntansi)
adalah suatu hal yang lumrah sebagaimana dilakukan oleh Chua dan Degeling
(1993; lihat juga Preston 1986; Neimark & Tinker 1986; Reiter 1995;
Macintosh et.al. 2000) di atas; dan sebagaimana juga dilakukan oleh Triyuwono
(2000a; lihat juga Triyuwono 1995).
Triyuwono (1995; 2000a), misalnya menggunakan dimensi faith (iman),
knowledge (ilmu/pengetahuan), dan action (aksi/tindakan)[1]
sebagai satu kesatuan dalam memahami budaya organisasi dan praktik akuntansi
yang dilakukan di lembaga-lembaga keuangan Islam baik yang profit-oriented
maupun yang nir laba. Dengan alat ini Triyuwono (1995; 2000a) dapat menjelaskan
proses terbentuknya institusi keuangan Islam beserta beberapa perangkat
operasionalnya (termasuk akuntansi sebagai bentuk aktualisasi (atau
eksternalisasi) iman dan imu pengetahuan. Bahkan dengan instrumen yang sama
dihasilkan metodologi konstruksi Akuntansi Syari’ah.
Masih dalam konteks yang sama, bab ini juga akan mendiskusikan konsep
dasar teori Akuntansi Syariah (knowledge) sebagai kesatuan yang tidak terpisah
dengan faith dan action. Secara khusus, bab ini tidak mendiskusikan faith dan
action, tetapi secara implisit dua hal ini terkait dengan knowledge (teori
Akuntansi Syariah). Dalam bab ini diasumsikan bahwa (teori) Akuntansi Syariah
merupakan teori ilmu pengetahuan profetik) Kuntowidjojo 1991; Triyuwono 1995;
2000a; 2000b) yang memiliki prinsip filosofis tertentu. Dari prinsip filosofis
ini kemudian diturunkan menjadi konsep dasar teori Akuntansi Syariah.
Akuntansi
Syariah: Teori Ilmu Sosial Profetik
Secara normative, masyarakat muslim mempraktikkan akuntansi berdasarkan
pada perintah Allah dalam QS. Al-Baqarah (2) : 282. Perintah ini sesungguhnya
bersifat universal dalam arti bahwa praktik pencatatan harus dilakukan dengan
benar atas transaksi yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lainnya.
“Substansi” dari perintah ini adalah : (1) praktik pencatatan yang harus
dilakukan dengan (2) benar (adil dan jujur). Substansi dalam konteks ini,
sekali lagi, berlaku umum sepanjang masa, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Sementara yang selalu terkait dengan “substansi” adalah “bentuk”. Berbeda
dengan “substansi”, “bentuk” selalu dibatasi oleh ruang dan waktu. Oleh karena
itu “bentuk” akan selau berubah sepanjang masa mengikuti perubahan itu sendiri.
Yang dimaksud dengan “bentuk” di sini adalah teknik dan prosedur akuntansi,
perlakukan akuntansi, bentuk laporan keuangan dan lain-lainnya. Bentuk praktik akuntansi
di negara Arab akan berbeda dengan bentuk praktik akuntansi di Indonesia.
Demikian juga, bentuk praktik akuntansi di Amerika Serikat pada tahun 1700-an
akan berbeda dengan praktik akuntansi pada tahun 2000-an sekarang ini. “Bentuk”
selalu melekat dengan kondisi objektif (lingkungan sosial, ekonomi, politik,
budaya, dan lain-lainnya) dari masyarakat di mana akuntansi tadi dipraktikkan.
Oleh karena itu, sangat wajar bila”bentuk” akuntansi di masing-masing negara /
bangsa selalu berbeda. Bahkan di satu negara pun akan berbeda bentuknya jika
dilihat dari masa ke masa.
Perintah normatif alquran di atas perlu dioperasionalkan dalam bentuk
aksi / praktik. Sehingga perinah alquran dapat membumi (dapat dipraktikan)
dalam masyarakat. Selama ini masyarakat muslim secara umum terperangkap pada
aspek normative dalam memahami perintah-perintah agama, dan sebaliknya
melupakan praktiknnya. Sebagai contoh misalnya umat muslim sering mednapatkan
ceramah bahwa “bersih itu adalah sebagian dari iman”, tetapi ternyata dalam
praktinya umat muslim tidak dapat mengerjakannya. Hal ini dibuktikan dengan
keadaan masjid yang selalu kotor, rumah sakit Islam yang juga kotor, dan masih
banyak contoh lainnya.
Di sini terlihat adanya jurang pemisah (gap) antara perintah normatif
dengan praktiknya. Dalam kaitannya dengan in Kuntowidjojo (1991) mengusulkan
perlunya “ilmu sosial profetik”. Yang dimaksud dengan ilmu sosial profetik di
sini adalah ilmu yang diturunkan dari alquran dan hadis (sunnah nabi) dengan
menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang nantinya digunakan untuk menjembatani
antara perintah normative dengan praktik. Dengan ilmu ini, perintah-perintah
normative menjadi lebih operasional dan dapat dipraktikkan dalam dunia nyata. Dalam
konteks ini, akuntansi syariah yang sedang kita bicarakan sebetulnya merupakan
bagian dari upaya kita dalam membangun ilmu sosial profetik di bidang
akuntansi. Perintah normative telah ada dalam alquran, berikutnya adalah
menerjemahkan alquran dalam bentuk tori Akuntansi Syariah yang pada gilirannya
digunakan untuk memberikan arah (guidance) tentang praktif akuntansi yang
sesuai dengan syariah.
Prinsip
Filosofis Akuntansi Syariah
Diatas telah disingggung, bahwa pembahasan teori Akuntansi Syairah di
sini tidak terlepas dari konteks faith, knowledge, dan action. Ini artinya
adalah bahwa teori Akuntansi Syariah (dalam hal ini adalah knowledge) digunakan
untuk memandu praktik akuntansi (action). Dari keterkaitan ini kita bisa
melihat bahwa teori Akuntansi Syariah (knowledge) dan praktik Akuntansi Syariah
(action) adalah dua sisi dari satu uang logam yang sama. Keduanya tidak dapat
dipisahkan, keduanya juga tidak boleh lepas dari bingkai keimanan / tauhid
(faith) yang dalam hal ini bisa digambarkan sebagai sisi lingkaran pada uang
logam yang membatasi dua sisi lainnya untuk tidak keluar dari keimanan.
Dalam konteks lingkaran keimanan tadi, maka secara filosofis teori
Akuntansi Syariah (sebagai salah satu ilmu sosial profetik) memiliki
prinsip-prinsip sebagai berikut (Kuntowidjojo 1991: Triyuwono 1995; 2000a; 2000b):
·
Humanis
·
Emansipatoris
·
Transendental, dan
·
Teleological
Humanis memberikan suatu pengertian bahwa teori Akuntansi Syariah
bersifat manusiawi, sesuai dengan fitrah manusia, dan dapat dipraktikkan sesuai
dengan kapasitas yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk yang selalu
berinteraksi dengan orang lain (dan alam) secara dinamis dalam kehidupan
sehari-hari. Emansipatoris mempunyai pengertian bahwa teori Akuntansi Syariah
mampu melakukan perubahan-perubahan yang signifikan terhadap teori dan praktik
akuntansi modern yang eksis saat ini. Perubahan-perubahan yang dimaksud disini
adalah perubahan yang membebaskan (emansipasi). Transendental mempunyai makna
bahwa teori Akuntansi Syariah melintas batas disiplin ilmu akuntansi itu
sendiri. bahkan melintas batas dunia materi (ekonomi). Dengan prinsip filosofis
ini teori Akuntansi Syariah dapat memperkaya dirinya sendiri dengan mengadopsi
disiplin ilmu lainnya (selain ilmu ekonomi), seperti: sosiologi, etnologi,
fenomenologi, antropologi, dan lain-lainnya bahkan dapat mengadopsi nilai
ajaran “agama lain”. Kemudian, aspek transedental ini sebetulnya tidak terbatas
pada disiplin ilmu, tetapi juga menyangkut aspek ontology, yaitu tidak terbatas
pada objek yang bersifat materi (ekonomi), tetapi juga aspek non-materi (mental
dan spiritual). Demikian juga pada aspek epistemologinya, yaitu dengan
melakukan kombinasi dari berbagai pendekatan. Sehingga dengan cara semacam ini,
teori akuntansi syariah benar-benar akan bersifat emansipatoris.
Teleological memberikan suatu dasar pemikiran bahwa akuntansi tidak
sekadar memberikan informasi untuk pengambilan keputusan ekonomi, tetapi juga
memiliki tujuan transendental sebagai bentuk pertanggung jawaban manusia
terhadap Tuhannya, kepada sesama manusia, dan kepada alam semesta. Prinsip
filosofis ini menjadi bagian yang sangat penting dalam konstruksi Akuntansi
Syariah, karena di dalamnya terkandung karakter yang unik yang tidak dapat
ditemukan dalam wacana akuntansi modern. Teori Akuntansi Syariah memberikan
guidance tentang bagaimana seharusnya Akuntansi Syariah itu dipraktikkan.
Konsep Dasar
Teori Akuntansi Syariah
Teori Akuntansi Syariah, sebagaimana telah disinggung di atas, memberikan
arah bagi penggunanya untuk melakukan aksi. Pada sub-bab sebelumnya kita telah
membahas prinsip filosofis sebagai bingkai yang mewadahi teori Akuntansi
Syariah. Konsep dasar merupakan wujud (atau kerangka) dasar yang akan mempengaruhi
bentuk teori, cara memandang, dan cara mempraktikkan akuntansi dalam duia
ekonomi-bisnis.
Lebih lanjut dikatakan oleh Hendriksen & Van Breda (1992) bahwa
tujuan utama dari teori akuntansi ini adalah memberikan satu set prinsip yang
diturunkan secara logis untuk dijadikan sebagai referensi dalam menilai dan
mengembangkan praktik akuntansi.
Tabel prinsip
filosofis dan konsep dasar teori akuntansi syariah
No
|
Prinsip
Filosofis
|
Konsep
Dasar
|
1
2
3
4
|
Humanis
Emansipatoris
Transendental
Teleologikal
|
·
Instrumental
·
Socio-economic
·
Critical
·
Justice
·
All-inclusive
·
Rational-intuitive
·
Ethical
·
Holistic
Welfare
|
Konsep dasar socio-economic mengindikasikan bahwa teori Akuntansi Syariah
tidak membatasi wacana yang dimilikinya pada transaksi-transaksi ekonomi saya,
tetapi juga mencakup “transaksi-transaksi sosial”. “Transaksi sosial” di sini
meliputi “transaksi” yang menyangkut aspek sosial, mental dan spiritual dari
sumberdaya yang dimiliki oleh entitas bisnis (Cf. Mathews 1993).
Dari derivasi prinsip filosofis emansipatoris, kita mendapatkan konsep
dasar critical dan justice. Konsep dasar critical memberikan dasar pemikiran
bahwa konstruksi teori Akuntansi syariah tidak bersifat dogmatis dan eksklusif.
Sikap kritis mengindikasikan bahwa kita dapat menilai secara rasional kelemahan
dan kekuatan akuntansi yang lebih baik dari penilai kritis ini dapat dibangun
teori akuntansi yang lebih baik dari sebelumnya. Sebagai contoh misalnya, kita
dapat melihat bahwa teori akuntansi modern memiliki kelehaman pada aspek
penekanan ekonomi (materi) yang sangat tinggi, sehingga menimbulkan efek pada
tersingkirnya (atau tertindasnya) aspek-aspek non-materi (non-ekonomi). Aspek
yang tersingkir atau tertindas ini, dengan menggunakan konsep dasar critical,
diangkat atau dibebaskan memposisikan aspek materi (lihat Triyuwono 2000b).
Jadi kalau kita lihat, posisi aspek materi dan non-materi pada teori akuntansi
modern didudukkan pada posisi yang tidak adil. Oleh karena itu, dengan konsep
dasar justice, aspek-aspek penting dalam akuntansi akan didudukkan secara adil.
Kemudian berikutnya adalah prinsip filosofis transendental. Dari prinsip
ini kita akan mendapatkan konsepd asar all-inclusive dan rational-intuitive.
Konsep dasar all-inclusive memberikan dasar pemikiran bahwa konstruksi teori
Akuntansi Syariah bersifat terbuka. Artinya, tidak menutup kemungkinan teori
Akuntansi Syariah akan mengadopsi konsep-konsep dari akuntansi modern,
sepanjang konsep tersebut selaras dengan nilai-nilai Islam. Secara implisit,
konsep ini mengarahkan kita pada pemikiran bahwa substansi lebih penting
daripada bentuk.
Konsep dasar rational-intuitive mengindikasikan bahwa secara epistemologi,
konstruksi teori Akuntansi Syariah memadukan kekuatan rasional dan intuisi
manusia. Konsep ini tentunya sangat berbeda dengan konsep teori-tori modern.
Teori-teori modern (termasuk akuntansi) mendudukkan rasio pada posisi sentral
dan sebaliknya menyingkirkan intuisi dalam proses konstruksi teori. Intuisi,
bagi proponen teori modern, berada di luar domain ilmu pengetahuan yang
rasiona. Oleh karena itu, intuisi manusia tidak dapat dilibatkan dalam
konstruksi ilmu pengetahuan. Namun dalam kenyataannya, intuisi manusia memiliki
kekuatan yang sangat besar dalam melakukan perubahan-perubahan signifikan dalam
masyarakat. Intuisi inilah sebetulnya merupakan instrumen ajaib yang dapat
melahirkan inovasi-inovasi yang tidak pernah terpikrkan sebelumnya. Jadi bukan
suatu hal yang aneh, bila dalam konstruksi teori Akuntansi Syariah, intuisi
merupakan instrumen yang sangat penting yang kemudian disinergikan dengan
instrumen rasional manusia.
Selanjutnya dari pinsip filosofis teleologikal kita mendapatkan konsep dasar
ethnical dan holistic. Ethical merupakan konsep dasar yang dihasilkan dari
konsekuensi logis keinginan kembali ke Tuhan dalam keadaan tenang dan suci.
Untuk kembali ke Tuhan dengan jiwa yang tenang dan suci, maka seseorang harus
mengikuti hukum-hukum-Nya (Sunnatullah) yang mengatur baik-buruk, benar-salah,
adil-zholim. Singkatnya, teori Akuntansi Syariah dibangun berdasarkan
nilai-nilai etika Islam. Konsekuensi dari penggunaan nilai-nilai etika Islam
dalam konstruksi Akuntansi Syariah adalah diakuinya bahwa kesejahteraan yang
menjadi salah satu aspek Akuntansi Syariah tidak terbatas pada kesejahteraan
materi saja, tetapi juga kesejahteraan non-materi. Jadi yang dimaksud dengan
kesejahteraan di sini adalah kesejahteraan yang utuh (holistic welfare). Ini
tentu sangat berbeda dengan teori akuntansi modern. Teori akuntansi modern
hanya berorientasi pada kesejahteraan materi.
Konsep dasar yang telah dijelaskan di atas ini akan menjadi referensi
bagi kita yang akan mengonstruksi teori akuntansi modern. Konsep dasar ini akan
menghasilkan bentuk teori akuntansi yang berbeda dengan teori akuntansi modern.
Dan pada gilirannya, akan menghasilkan bentuk praktik akuntansi yang berbeda
dengan akuntansi modern saat ini.
METODOLOGI
PENGEMBANGAN TEORI AKUNTANSI SYARIAH
A.
Pendahuluan
Kita sekarang telah memutuskan bahwa suatu teori
akuntansi dimungkinkan apabila teori akuntansi merupakan suatu kerangka referensi,
seperti yang diusulkan Hendriksen; Teori akuntansi mengandung tiga elemen
yakni: penyandian fenomena kedalam gambaran simbolis, manipulasi atau kombinasi
sesuai aturan, dan pengubahan kembali ke dalam kenyataannya. Seperti dalam
setiap disiplin lain, suatu metodologi diperlukan untuk perumusan suatu teori
akuntansi. Perbedaan pendapat, pendekatan, dan nilai antara praktik akuntansi
dan penelitian akuntansi telah menjuruskan pada pemakaian dua metodologi,
yakni: metodologi deskriptif dan lainnya metodologi normative. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka dalam buku ini, akan dibahas topik-topik sebagai
berikut: Pendahuluan; Pendekatan Perumusan Teori Akuntansi; dan Pendekatan yang
digunakan dalam Studi Akuntansi Syariah.
B.
Pendekatan Perumusan Teori Akuntansi
Metodologi yang biasa digunakan untuk perumusan suatu
teori akuntansi, pada dasarnya adalah metodologi deskriptif. Dengan kata lain
menurut pandangan ini, teori akuntansi merupakan suatu usaha coba-coba untuk membenarkan
apa yang tersusun melalui praktik akuntansi. Suatu teori seperti ini dinamakan
Akuntansi Deskriptif atau suatu Teori Akuntansi Deskriptif. Pendekatan teori
akuntansi deskriptif telah dikecam oleh para pendukung metodologi normative
yang melahirkan teori akuntansi normative. Teori akuntansi normatif berusaha
membenarkan apa yang seharusnya benar, daripada membenarkan apa yang benar.
Perbedaan antara dua orientasi tersebut, yakni :
Kesatu, disebut Akuntansi Operasionil. Akuntansi Operaisonal diarahkan pada
penyajian informasi yang berguna bagi keputusan manajemen dan investor,
khususnya keputusan yang menyangkut alokasi sumberdaya. Kedua, disebut Akuntansi
Hak Pemilikan, diarahkan pada penyesuaian hak milik para pemegang saham dan
pihak lain yang berpekentingan baik yang berada di dalam ataupun di luar suatu
organisasi agar dapat mencapai suatu keadilan dalam bagian hasial atau
keuntungan operasi.
Diantara teori akuntansi yang termasuk dalam kelompok
pendekatan normative ada beberapa studi yang dilakukan di antaranya dilakukan
oleh Moonitz, Sprouse dan Moonitz, The American Accounting Association’s A
Statement of Basic Accounting Theory, teori karya Edwards dan Bell, serta The
Study by Chambers. Suatu review yang baik mengenai metodologi deskriptif dan
normative serta teori-teori yang dihasilkan, ditemukan oleh Mc Donald dan The
AAA’s Statement on Accounting Theory and Theory Acceptancen. Sekalipun tidak ada
suatu teor akuntansi yang komprehensip, namun ada berbagai teori akuntansi
dalam kategori cukup baik. Hal ini diakibatkan karena pemakaian pendekatan yang
berbeda. Beberapa pendekatan tradisionil ini telah dapat diterima lebih tinggi
dibanding pendekatan baru. Beberapa pendekatan tradisionil adalah:
- Non-teoritis, praktis atau pragmatis (tak formil)
- Teoritis
a.
Deduktif
b.
Induktif
c.
Etis
d.
Sosiologis
e.
Ekonomis
f.
Memilih-milih dari berbagai sumber
Pendekatan Non-Teoritis
Pendekatan non-teoritis adalah suatu pendekatan pragmatis
(atau praktis) atau suatu pendekatan otoriter. Pendekatan pragmatis adalah
pembentukan suatu teori yang berciri khas sesuai dengan praktik senyatanya, dan
pembentukan teori tersebut mempunyai kegunaan ditinjau dari segi cara
penyelesaiannya yang praktis sebagaimana yang diusulkan. Pendekatan otoriter
adalah perumusan suatu teori akuntansi, yang umumnya digunakan oleh organisasi
professional, dengan menerbitkan pernyataan sebagai peraturan praktik
akuntansi.
Pemakian kegunaan atau faedah sebagai suatu kriteria
pemilihan prinsip akuntansi menghubungkan pembentukan teori akuntansi pada
praktik akuntansi, yang dapat menjelaskan kekuranggairahan yang disebabkan oleh
pendekatan pragmatis. Kita boleh juga memikirkan pendekatan pragmatis sambil
memasukan suatu teori rekening. Pendekatan ini, yang bertumpu pada suatu
rasionalisasi tata buku berpasangan, dimuat dalam Fra Luca Paciolo’s Summa de
Aritmetica Gemoetical Proportioni et Proportinalita, diterbitkan di Venice pada
tahun 1494. Walaupun the Summa merupakan suatu review buku teknologi matematis
yang berlaku waktu itu, namun memasukkan 36 bab pendek mengenai tata buku, yang
disebut De Computis et Scripturis (of Reckonings and Writing).
Teori pendekatan rekening merasionalkan pemilihan
teknik akuntansi atas dasar persamaan akuntansi, yakni persamaan neraca dan
persamaan keuntungan akuntansi. Persamaan neraca biasanya dinyatakan sebagai:
Aktiva = Utang + Modal Pemilik
Persamaan keuntungan akuntansi biasanya dinyatakan
sebagai:
Keuntungan akuntansi = Penghasilan - Biaya
Dua persamaan menurut teori pendekatan rekening ini
mengarahkan pada pengembangan dua posisi yakni satu posisi yang berorientasi
pada neraca dan satu posisi yang berorientasi pada keuntungan. Bagaimanapun
juga, teori pendekatan rekening seperti pendekatan pragmatis dan otoriter.
Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif adalah pendekatan yang digunakan
dalam membentuk teori yang dimulai dari dalil-dalil dasar dan tindakan-tindakan
dasar untuk mendapatkan kesimpulan logis tentang pokok persoalan yang sedang
dipertimbangkan.
Pendekatan ini berjalan dari umum (dalil dasar tentang
lingkungan akuntansi) kekhusus (pertama ke prinsip akuntansi, dan kedua pada
teknik akuntansi). Apabila pada saat ini kita beranggapan, bahwa dalil dasar
tentang lingkungan akuntansi terdiri dari tujuan dan pernyataan, maka langkah
yang digunakan bagi pendekatan deduktif akan meliputi sebagai berikut:
- Menetapkan “tujuan” laporan keuangan
- Memilih “aksioma” akuntansi
- Memperoleh “prinsip” akutnansi
- Mengembangkan “teknik” akuntansi.
Oleh karena itu, menurut teori akuntansi yang
diperoleh secara deduktif, teknik ini berkaitan dengan prinsip dan aksioma
serta tujuan menurut suatu cara yang sedemikian rupa sehingga apabila prinsip
dan oksioma serta tujuannya benar, maka tekniknya pun harus menjadi benar.
Struktur teoritis akuntansi ditetapkan menurut rangkaian tujuan, aksioma,
prinsip, teknik yang bertumpu pada suatu perumusan tepat terhadap suatu teori
yang dihasilkan. Menurut Popper, pengujian teori deduktif dapat dilaksanakan sepanjang
empat hal: Pertama ada perbandingan logis diantara kesimpulan itu sendiri,
sehingga konsistensi intern sistem teruji. Kedua, ada pemeriksaan bentuk logis
teori dengan maksud menentukan apakah teori tersebut berkarakter sebagai suatu
teori empiris ataukah teori ilmiah, dan ataukah merupakan suatu teori yang
bersifat mengulang-ulang saja tanpa memberi penjelasan tambahan. Ketiga, ada
perbandingan dengan teori lain, terutama dengan maksud menentukan apakah teori
akan membuat suatu kemajuan ilmu pengetahuan yang berarti akan mempertahankan
dan meneruskan berbagai pengujian kita, dan akhirnya, ada pengujian teori
melalui penerapan empiris beberapa kesimpulan yang dapat diperolehnya darinya.
Langkah terakhir diperlukan untuk menentukan bagaimana
teori memenuhi tuntutan praktik.
Pendekatan Induktif
Pendekatan induktif terhadap pembentukan suatu teori
dimulai dari pengamatan dan pengukuran dan menuju kearah kesimpulan yang
digeneralisir. Apabila diterapkan pada akuntansi, maka pendekatan induktif
dimulai dari pengamatan informasi keuangan perusahaan, dan hasilnya untuk
disimpulkan, atas dasar hubungan kejadian, kesimpulan dan prinsip akuntansi.
Penjelasan-penjelasan deduktif dikatakan berjalan dari khusus kearah umum.
Pendekatan induktif pada suatu teori melibatkan empat tahap:
- Pengamatan, dan pencatatan seluruh pengamatan
- Analisis dan pengklasifikasian pengamatan tersebut untuk mencari hubungan yang berulangkali yakni hubungan yang sama dan serupa
- Pengambilan generalisasi dan prinsip akuntansi induktif dari pengamatan tersebut yang menggambarkan hubungan yang berulang kali terjadi
- Pengujian generalisasi
Tidak seperti halnya dengan masalah pengambilan secara
deduksi, kebenaran atau kepalsuan dalil tidak tergantung pada dalil lain tetapi
harus dibuktikan secara empiris. Demikian pula, dapat dikatakan bahwa dalil
akuntansi hasil penarikan kesimpulan secara induktif menunjukkan teknik
akuntansi khusus yang memiliki probabilitas hampir tinggi.
Beberapa penulis akuntansi bersandar kepada pengamatan
praktik akuntansi dalam mengusulkan suatu kerangka teori akutnasi. Tujuan yang
mendasari sebagian besar para pemikir ini adalah merasionalisasikan praktik
akuntansi untuk menarik kesimpulan secara teoritis serta abstrak. Pembelaan
terbaik terhadap pendekatan induktif diberikan oleh usaha Ijiri yang
menggeneralisir tujuan yang implisit dalam praktik akuntansi yang berlaku dan
mempertahankan pemakaian harga pokok histories. Ijiri menyatakan: Bentuk
pemikiran induktif untuk mencapai tujuan yang implisit dalam perilaku suatu
sistem yang ada tidak bermaksud untuk mempertahankan status quo. Tujuan
penggunaannya adalah untuk menyoroti di mana perubahan-perubahan itu sangat
diperlukan dan dimana perubahan itu dimungkinkan terjadi. Perubahan memberi
kesan sebagai suatu kesempatan lebih baik untuk dilaksanakan secara
sungguh-sungguh. Pengandaian tujuan kedalam model-model normative atau tujuan
yang dilanjutkan dalam pembahasan kebijaksanaan semata-mata sering kali
dinyatakan atas dasar keyakinan dan preferensi seseorang, daripada berdasarkan
penyelidikan induktif terhadap sistem yang ada. Ini kemungkinan dapat menjadi
alasan yang lebih penting mengapa demikan banyak model normatif atau usul
kebijaksanaan normatif tidak dilaksanakan dalam praktik. Perumusan dalil sering
kali dilakukan dengan pemikiran induktif, dalil umum dirumuskan melalui suatu
proses induktif, sementara prinsip dan teknik diperoleh melalui suatu proses
deduktif. Itu menegaskan bahwa logika induktif dapat mensyaratkan pemikiran
atau logika induktif.
Pendekatan Etis
Inti dasar pendekatan etis adalah terdiri atas
konsep-konsep keadilan, kejujuran, dan kebenaran serta kewajaran. Para akuntan
menganggap konsep tersebut mempunyai arti yang sama. Sebaliknya, hanya
merasakan bahwa justive dan fairness sebagai norma etis, dan memandang truth
sebagai suatu pernyataan nilai. Konsep “fairness” (kewajaran). Kewajaran
sebagai suatu norma dasar yang dipergunakan untuk penilaian norma lain, karena
merupakan satu-satunya yang menunjukkan “pertimbangan etis”.
Spavek satu langkah lebih maju dalam rangka menegaskan
keunggulan konsep kewajaran: Suatu pembahasan tentang aktiva, utang,
penghasilan, dan biaya belumlah saatnya dan tidak gunanya sebelum menentukan
prinsip dasar yang akan menghasilkan suatu penyajian data yang wajar dalam
bentuk akuntansi keuangan dan laporan keuangan. Kewajaran akuntansi dan laporan
ini harus ada dan untuk masyarakat, dan masyarakat tersebut mewakili berbagai
golongan masyarakat kita.
Apapun pengertian yang dikandungnya, kewajaran telah
menjadi salah satu dari tujuan dasar akuntansi. The Committeee on Auditing
Procedures menunjuk kriteria “kewajaran penyajian” sebagai (1) kesesuaiannya
dengan prinsip akuntansi yang diterima umum, (2) keterungkapan, (3) konsisten,
(4) dapat dipertimbangkan. Dalam sebuah laporan pemeriksaan tanpa kualifikasi,
auditor tidak hanya menyatakan bahwa telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang
diterima umum dan norma pemeriksaan yang telah diterima umum akan tetapi juga
menyatakan suatu pendapat dengan kata “menyajikan secara wajar”. Kewajaran merupakan
suatu tujuan yang diperlukan sekali dalam pembentukan suatu teori akuntansi
apabila apa pun yang dipaksakan pada dasarnya dapat dibuktikan secara logis
atau secara empiris dan apabila dioperasionalkan melalui suatu definisi yang
memadai dan melalui pengenalan sifat-sifatnya.
Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis perumusan suatu teori akuntansi
menekankan pengaruh sosial terhadap teknik akuntansi. Pendekatan ini merupakan
suatu pendekata etis yang memusatkan pada suatu konsep kewajaran yang lebih
luas, yakni kesejahteraan sosial. Menurut pendekatan sosiologis suatu prinsip
atau teknik akuntansi tertentu akan dinilai akseptasinya atas dasar pengaruh
pelaporannya terhadap seluruh golongan masyarakat.
Penerapan pendekatan sosiologis yang tepat terhadap
pembentukan teori akuntansi kemungkinan sulit diketemukan. Oleh karena adanya
kesulitan-kesulitan dan penentuan informasi yang diperlukan rakyat tersebut
yang membuat pertimbangan kesejahteraan. Pendekatan sosiologis dalam perumusan
teori akuntansi telah membantu evolusi suatu cabang akuntansi baru, yang
disebut Akuntansi Sosioekonomi. Tujuan utama sosioekonomi adalah mendorong
badan usaha berfungsi dalam suatu sistem pasar bebas untuk
mempertangggungjawabkan aktivitas produksinya sendiri terhadap lingkungan
sosial melalui pengukuran, internalisasi dan pengungkapan dalam laporan
keuangan.
Pendekatan Ekonomi
Pendekatan ekonomi terhadap suatu teori akuntansi
menitikberatkan pengendalian perilaku indikator makro ekonomi yang diakibatkan
oleh pemakaian berbagai teknik akuntansi. Sementara pendekatan etis memfokuskan
pada suatu konsep “kewajaran” dan pendekatan sosiologis memfokuskan pada suatu
konsep “kesejahteraan sosial”, pendekatan ekonomi memfokuskan pada suatu konsep
“kesejahteraan ekonomi umum”. Kriteria umum yang digunakan oleh pendekatan
makro ekonomi adalah (1) kebijaksanaan dan teknik akuntansi harus mencerminkan
“realitas ekonomi”, dan (2) pemilihan teknik akuntansi harus tergantung kepada
“konsekuensi ekonomi”. “Realitas ekonomi” dan “konsekuensi ekonomi” merupakan
istilah yang telah sekali untuk digunakan di dalam menunjukkan keuntungan
pendekatan makro ekonomi.
Pemerintah memperjuangkan pemakaian metode
penanggulangan atas dasar alasan bahwa metode tersebut memperlemah pengaruh
insenti suatu alat kebijaksanaan fiskal. Oleh karena itu, dalam rangka
penentuan norma akuntansi, pertimbangan-pertumbangan yang dinyatakan oleh
pendekatan ekonomi lebih bersifat ekonomis daripada operasional.
C.
Pendekatan yang Digunakan dalam Studi Ini
Berpijak pada urgensi dan kegunaan penelitian ini,
maka upaya rasional, penentuan kebenaran hakekat dan eksistensi akuntansi
tersebut perlu diteliti dengan metode penelitian yang tepat. Ketepatan metode
penelitian tersebut akan tercermin pada tahap-tahap penelitian yang dilalui.
Buku ini ditulis untuk menemukan rasionalitas dan
kebenaran hakikat, pengetahuan dan praktik akuntansi, maka kajian teori kritis
akan digunakan, yang penerapannya dilakukan melalui dua tahapan, yaitu: tahap
deskriptif dan tahap evaluatif / kritik. Kedua tahap kajian ini masing-masing
menggunakan metode yang berbeda, sesuai dengan esensi permasalahan penelitian
ini.
a)
Tahap deskriptif
Tahap deskriptif adalah tahap penyajian data yang
didasarkan pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Tahap deskriptif
adalah tahap untuk mengetahui hakikat sesuatu. Untuk itu, kajian selanjutnya
akan dikombinasikan dengan kerangka dasar filsafat ilmu. Ontologi menyangkut
tentang hakikat apa yang dikaji atau science of being qua being”. Epistimologi
adalah berkaitan dengan bagaimana cara ilmu pengetahuan melakukan pengkajian
dan menyusun tubuh pengetahuannya atau studi filsafat yang membahas ruang
lingkup dan batas-batas pengetauan. Metodologi digunakan untuk menguji
metode-metode yang digunakan atau yang akan digunakan untuk menghasilkan
pengetahuan yang valid. Sementara aksiologi adalah tiang penyangga filsafat
ilmu yang berkaitan dengan kegunaan ilmu yang telah tersusun itu dipergunakan
atau theory of value.
Berdasarkan tiga sisi tersebut selanjutnya dapat dilakukan
analisis terhadap esensi ilmu pengetahuan. Akuntansi akan memberikan informasi
yang sangat dibutuhkan manajemen dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, yaitu:
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Fungsi-fungsi
tersebut merupakan fenomena yang akan menjadi kajian keilmuan terutama yang
berkaitan dengan hakikat dari sudut pandang syari’ah Islam.
b)
Tahap evaluatif
Metode yang digunakan pada tahap evaluatif adalah
metode analitik kritis-rasional. Metode ini diterapkan mengingat pada tahap ini
dilakukan upaya membandingkan konsep akuntansi Barat dengan konsep Akuntansi
Syariah. Seperti halnya dalam upaya mengkaji atau membangun teori sosial,
termasuk teori akuntansi, maka proses berfikir analisis: kritis dan rasional
sangat dituntut. Dalam penelitian akuntansi pendekatan kritis (critical
studies) merupakan salah satu pendekatan yang disarankan untuk diterapkan.
Banyak istilah yang disarankan, sebagaimana diungkapkan oleh Lodh, bahwa:
“There are many labels for ‘critical accounting’ or ‘critical studies in
accounting research”. Sebagai contoh, Macintosh menggunakan istilah critical
accounting movement, Cooper & Hopper menggunakan istilah critical
accounting walaupun sebelumnya mereka menggunakan istilah critical studies.
Sementara Neimark and Tinker memakai istilah critical accounting literature.
Kemudian Laughlin menggunakan istilah critical theory yang digunakan untuk
memaknai istilah critical sosial theory khususnya teori kritis yang berasal
dari German.
Istilah-istilah yang disampaikan di atas, mengandung
perbedaan terminology jika akan diterapkan pada kajian teori akuntansi dan
penelitian akuntansi. Melalui pendekatan critical theory kita akan melihat
suatu teori itu bukan saja terletak pada upaya menempatkan ideologi sebagai
‘bentuk pemikiran’ akan tetapi juga akan mencoba mengkaji tentang bagaimana
kondisi sosial, seperti sistem akuntansi yang dikembangkan oleh kaum kapitals,
terpenuhinya kepuasan kebutuhan hidup, dan kebebasan diri dari kondisi sosial
masyarakat yang rentan.
c)
Metode pengumpulan data
Sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini, maka data yang digunakan adalah berupa pernyataan-pernyataan
ahli yang relevan. Dengan demikian teknik pengambilan sampel data adalah dengan
purposive sampling/data, yang selanjutnya didukung dengan teknik analisis is
(content analysis). Teknik ini menurut Bogdan dan Biklen (1982) yang dikutip
Syafi’ie dimaksudkan untuk pengambilan sampel internal (internal sampling).
Internal sampling yaitu keputusan yang diambil begitu peneliti memiliki suatu
pikiran umum tentang jumlah dokumen serta macamnya yang akan dikaji, dengan
siapa akan berbicara dan kapan akan melakukan observasi.
Penggalian data primer mula-mula dilakukan dengan
mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan istilah perhitungan (hisab),
keseimbangan, pertanggungjawaban, kemudian membuat outline dalam rangka
menentukan ayat-ayat yang secara langsung berkaitan dengan ayat-ayat yang tidak
secara langsung mengungkap tentang hisab, yang dalam penggaliannya menggunakan
teknik dokumentasi murni. Sedangkan untuk mengumpulkan data sekunder dilakukan
dengan mencari pokok-pokok pikiran yang ditulis oleh pemikir atau ilmuwan yang
telah ditulis dalam rangka menemukan esensi tentang konsep akuntansi. Dalam
penelitian kualitatif, pada tahap analisis setidak-tidaknya ada tiga komponen
pokok yang harus disadari oleh peneliti, yaitu : data reduction, data display
dan conclusion drawing (Miles & Huberman, 1984: Sutopo, 1988). Tiga
komponen tersebut saling berhubungan dengan dan saling mendukung. Sehubungan
dengan permasalahan akuntansi maka Gaffikin menyarankan empat tahapan yang
harus dilalui oleh peneliti dalam menerapkan metodologi analisis. Keempat
tahapan tersebut adalah: logical, environmental, ideological, dan linguistic.
Masing-masing tahapan tersebut saling berkaitan erat satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, keberhasilan konstruksi teori ini akan menemukan kecocokan
kriteria pada semua bidang.
Dasar Hukum Akuntansi Syariah
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah
bersumber dari Al Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma (kesepakatan para ulama), Qiyas
(persamaan suatu peristiwa tertentu), dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak
bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi dalam Islam,
memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi
Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma
masyarakat Islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai
pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah
dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan
prinsip unit ekonomi;
2. Prinsip
penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan
keuangan;
3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan
bertanggal;
4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan
prinsip penentuan barang;
5. Prinsip
perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income
dengan cost (biaya);
6. Prinsip kontinuitas (istimrariah)
dengan kesinambungan perusahaan;
7. Prinsip keterangan (idhah) dengan
penjelasan atau pemberitahuan.
Sedangkan perbedaannya, menurut
Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam,
antara lain terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
1.
Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau
harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud
dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam
menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan
melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang
dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
2.
Modal dalam konsep Akuntansi Konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu
modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di
dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash)
dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi
barang milik dan barang dagang;
3.
Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama
kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara
untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau
nilai;
4.
Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari
menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang
bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan
cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku
serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
5.
Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang,
modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam
konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal
dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib
menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha
menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh
para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk
mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
6.
Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya
jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika
adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual
maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk
menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
Komponen laporan keuangan entitas
Syariah meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan
ekuitas, laporan perubahan dana investasi terikat, laporan sumber dan
penggunaan dana zakat, laporan sumber dan penggunaan dana qardh dan
catatan atas laporan keuangan. Sedangkan komponen laporan keuangan konvensional
tidak menyajikan laporan perubahan dana investasi terikat, laporan sumber dan
penggunaan dana zakat serta laporan sumber dan penggunaan dana qardh.[2]
TEORI
AKUNTANSI SYARIAH
A.
Akuntansi dalam Kerangka Islam
Setelah kita kaji keberadaan sistem akuntansi
kapitalis, dapat ditemukan beberapa persoalan tersebut utamanya berkaitan denga
hal kepemihakan, konsep dasar, standar, dan metode akuntansi. Akuntansi pada
dasarnya akan selalu berhubungan dengan distribusi aktiva perusahaan, hak
residual atas aktiva pada saat likuidasi dan hak ekuitas (kekayaan) pada
perusahaan yang sedang berjalan baik. Kesemuanya ini merupakan tujuan penting
yang hendak dicapai dalam penyajian value added statement atau laporan nilai
tambah, yang dalam teori akuntansi konvensional sama dengan laporan laba rugi.
Pada saat kita mngkaji ilmu atau teori akuntansi
syari’ah tidak dapat ditinggalkan kerangka teori akuntansi konvensional.
Sehubungan dengan hal tersebut, secara konvensional ada banyak teori yang
berkaitan dengan pembahasan kekayaan pemilik.
- Teori pemilikan (Proprietary Theory)
Teori ini menyatakan bahwa akuntansi terjadi karena
bentukan dari persamaan dasar sebagai berikut:
Asets - Liabilities = Modal
Artinya modal adalah sama dengan harta dikurangi
utang. Dalam hal ini, pemilik adalah pusat perhatian. Aktiva dianggap dimiliki
oleh pemilik dan kewajiban / utang adalah kewajiban pemilik. Tanpa memandang
mengenai perlakuan utang, pemilikan dipandang sebagai nilai bersih kesatuan
usaha kepada pemilik. Pada saat perusahaan didirikan, nilai tersebut akan sama
dengan investasi pemilik. Selama hidup perusahaan, akan terus sama dengan
investasi awal dan tambahan investasi serta akumulasi laba bersih di atas
jumlah yang diambil oleh pemilik. Inilah yang kemudian disebut dengan konsep
kekayaan. Teori ini berpendapat bahwa pendapatan adalah kenaikan atas hak
pemilik, sedangkan biaya adalah penurunan. Dengan demikian laba bersih akan
secara langsung menjadi hak pemilik dan mencerminkan kenaikan kekayaan pemilik
dan karena laba adalah kenaikan kekayaan, maka segera pula ditambahkan kepada
modal pemilik.
Pajak perseroan diperlukan secara dengan agen dari
pemegang saham yang menganggap bahwa perseroan adalah agen dari pemegang saham
dalam pembayaran pajak yang nyata-nyata pajak penghasilan dari pemegang saham.
Konsep laba komprehensip ini didasarkan pada proprierty theory karena laba
bersih berisi semua unsur yang mempengaruhi pemilikan selama satuan periode
terkecuali pembagian dividen dan tansaksi modal. Teori ini lebih menekankan
pada hakikat perubahan terhadap pemilikan dan klasifikasinya dalam neraca.
Teori ini merupakan teori akuntansi yang paling kunoi, dan banyak konsep
akuntansi yang dikembangkan dari teori ini.
- Teori kekayaan (Entity Theory)
Teori ini menganggap bahwa perusahaan memiliki
eksistensi yang terpisah. Pemisahan ini terjadi pada kepentingan pemiliki dan
pemegang ekuitas yang lain. Pendiri dan pemilik perusahaan tidak perlu
diidentifikasikan dengan eksistensi perusahaab. Teori ini didasarkan pada
persamaan:
Asets = Equities
Ekuitas pada dasarnya adalah utang ditambah dengan hak
pemegang saham. Elemen yang ada pada sisi kanan kadang-kadang disebut sebagai
kewajiban, tetapi sebenarnya merupakan pemilikan dengan hak yang berbeda
terhadap perusahaan. Apa bedanya utang dan hak pemegang saham. Perbedaan utama
antara utang dan hak pemegang saham berkait dengan penilaian atas hak kreditor
yang dapat ditentukan secara terpisah bila perusahaan bubar, sedangkan hak para
pemegang saham diukur dengan penilaian aktiva mula-mula yang ditanamkan
ditambah dengan laba yang diinvestasikan kembali dan revaluasi yang terjadi
sesudahnya. Namun demikian hak untuk menerima pembayaran dividen dan bagian
dari aktiva bersih pada saat likuidasi adalah hak sebagai pemegang hak
pemilikan dan bukan sebagai pemilik atas aktiva tertentu. Teori ini memandang
utang adalah kewajiban khusus dari perusahaan dan aktiva mencerminkan hak
perusahaan untuk menerima barang, jasa atau manfaat yang lain.
- Fund Theory
Berbeda dengan teori proprietry, teori fund melepaskan
hubungan personal yang dianut oleh teori proprietory dan personalisasi
perusahaan sebagai kesatuan ekonomi yang dibuat sah pada entity theory. Fund
theory menggantinya dengan kesatuan kegiatan yang orientasi kegiatan sebagai
landasan akuntansi.
Aktiva = Pembatasan Aktiva
Aktiva mencerminkan prospek jasa bagi unit
operasional. Utang merupakan pembatasan terhadap aktiva khusus ataupun aktiva
secara umum. Modal yang ditanamkan merupakan pembatasan yang legal ataupun
financial terhadap penggunaan aktiva, sehingga modal yang ditanamkan harus
dijaga keberadaannya, bila tidak terdapat likuidasi sebagian ataupun secara
keseluruhan. Dengan demikian, dalam teori ini semua ekuitas mencerminkan
pembatasan yang dilakukan secara legal, kontrak, manajerial, dan finansial. Konsep
ini bermanfaat sekali bagi perusahaan yang tidak mencari laba. Seperti lembaga
pemerintah, universitas, rumah sakit, lembaga sosial.
B.
Teori Akuntansi Syariah
Ada suatu perubahan luar biasa dalam kancah bidan ilmu
akuntansi untuk beberapa decade belakangan ini. Sebelum tahun 1970-an ada
anggapan tentang akuntansi sebagai ilmu pengetahuan dan praktik yang bebas dari
nilai (value free) sudah mulai digoyang keberadaannya.
Pada era informasi dan globalisasi dalam bidang
akuntansi ada upaya harmonisasi praktik-praktik akuntansi. Praktik akuntansi di
setiap negara dianggap menyulitkan dalam menafsirkan laporan keuangan, atau
praktik akuntansi yang ebragam itu tidak dapat diperbandingkan (uncomparable). Kasus
ini mengundang reaksi banyak kalangan, sehingga muncullah pandangan-pandangan
yang bersifat pro dan kontra. Mereka yang berpandangan kontra mengecam bahwa
tindakan untuk melakukan harmonisasi merupakan tindakan pelecehan terhadap
nilai-nilai lokal. Mereka justru melihat bahwa sebetulnya lingkungan (non
value-free). Bahkan ada yang mengatakan akuntansi adalah “anak” yang lahir
budaya setempat (lokal). Pandangan kedua, memang secara eksplisit menolak
pandangan pertama yang bersifat fungsionalis dan positivistic, kalau ditelusuri
ke belakang akar pemikiranya berasal dari August Comte.
Berpijak dari kasus di atas, usaha untuk mencari
bentuk akuntansi yang berwajah humanis, emansipatori, transendental, dan
teologikal merupakan upaya yang niscaya. Akuntansi syariah, menurut Iwan
Triyuwono dan Gaffikin dikatakan, merupakan salah satu upaya mendokontyksi
akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan sarat nilai. Tujuan diciptakannya
akuntansi syariah adalah terciptanya peradaban bisnis dengan wawasan humanis,
emansipatoris, transendental, dan teologikal. Dengan cara demikian, realitas
alternatif diharapkan akan dapat membangkitkan kesadaran diri secara penuh akan
kepatuhan dan ketundukan seseorang kepada kuasa Allah. Berkaitan dengan
persoalan perubahan teori ekuntansi, maka akuntansi akan berubah ke paradigma
baru yang sejauh ini belum jelas lagi. Dalam konteks demikian, Takatera dalam
pengantarnya menyajikan dua strategi pengkajian hakikat akuntansi sebagai
berikut:
- Jika studi akuntansi deskriptif berkembang dalam suasana terisolasi dari strategi intelektual untuk mengubah akuntansi sekarang, hal ini akan membenarkan akuntansi yang dulu dan sekarang bukan menginterpretasikannya. Sebaliknya jika studi akuntansi normatif dikembangkan dalam suasana terisolir tanpa memperdulikan masyarakat dan masalah organisasi di mana akuntansi dipraktikkan, maka hal ini akan berakibat kegagalan percobaan sebab tidak akan berakibat kegagalan percobaan sebab tidak akan diterima oleh masyarakat kendatipun jika ini dapat menjelaskan ‘akuntansi untuk apa yang tidak boleh’. Kemudian adalah penting menggabungkan studi akuntansi deskriptif dengan studi akuntansi normatif untuk memberikan pemahaman baru tentang apa akuntansi dulu, apa akuntansi sekarang dan menciptakan apa akuntansi di masa yang akan datang.
- Jika akuntansi yang dimaksud adalah akuntansi “what should be” sebagai kelanjutan dari akuntansi “what it is”, dengan jalan yang tidak akan pernah berhenti, kita tidak akan dapat membentuk akuntnasi “what it is” walaupun kita dapat menawarkan interpretasi baru, terhadap apa akuntansi “what it was” dan apa akuntansi sekarang (what it is)… Strategi untuk membuat isu sekarang jelas harus berhadap dengan crita akuntansi yang akan datang, yaitu menciptakan akuntansi “what should be”. Sebagai ganti dari “what it is” di bidang yang kita hentikan keberadaannya.
C.
Praktik Akuntansi Syariah
Kemunculan dan perkembangan lembaga keuangan Islam di
Indonesia yang sangat fenomenal, telah memicu loahirnya diskusi-diskusi serius
lebih lanjut, mulai dari produk atau jasa yang ditawarkan, pola manajemen
lembaga, sampai kepada pola akuntasinya. Menariknya akuntansi untuk dibahas,
tentu karena adanya beberapa alasan. Pertama: akuntansi selama ini dikenal
sebagai alat komunikasi, atau sering diistilahkan sebagai bahasa bisnis. Kedua:
akuntansi sering diperdebatkan apakah ia netral atau tidak. Ketiga, akuntansi
sangat dipengaruhi oleh lingkungan (politik, ekonomi, budaya) di mana ia
dikembangkan; dan Keempat, akuntansi mempunyai peran sangat penting, karena apa
yang dihasilkannya, bisa menjadi sumber atau dasar legitimasi sebuah keputusan
penting dan menentukan.
Pada tatanan teknis operasional, akuntansi syariah
adalah instrumne yang digunakan untuk menyediakan informasi akuntansi yang
berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan
ekonomi. Selain dari pada itu, kita mendapatkan hal pokok lain dalam ibadah
Islam. Menurut Qadharwi ditegaskan: …..bagian ibadah Islam yang pokok iyu,
adalah satu ibadah khusus yang istimewa, yang pada kenyataannya merupakan
bagian dari sistem keuangan dan ekonomi dalam pandangan Islam otulah ibadah
zakat. Dalam bagian dosa besar yang diharamkan dengan pengharaman yang sangat
kuat, kita menemukan dosa besar agama, yang tergolong ‘tulang belikat” sistem
ekonomi bagi sebagian besar umat manusia, baik dahulu maupun sekarang. Itulah
riba di mana Rasulullah SAW telah melaknati para pemakannya, pemberinya,
penulisnya, dan kedua saksinya.
Dengan demikian jelas, bahwa upaya kita menemukan format
teori maupun praktif ekonomi (manajemen dan akuntansi Islam) harus dilandaskan
pada Islam sebagai sesuatu yang integral. Sebagai turunan dari uraian di atas,
barangkali uraian tentang keputusan ekonomi yang dihasilkan oleh akuntansi
syariah adalah bercirikan sebagai berikut:
- Menggunakan nilai etika sebagai dasar bangunan akuntansi
- Memberikan arah pada, atau menstimulasi timbulnya, perilaku etis
- Bersikap adil terhadap semua pihak,
- Menyeimbangkan sifat egoistic dengan altruistik, dan
- Mempunyai kepedulian terhadap lingkungan
Berdasarkan landasan dan ciri-ciri tersebut di atas,
maka diharapkan akuntansi syariah akan mempunyai bentuk yang lebih sempurna
bila dibandingkan dengan akuntansi konvensional. Sebab melalui ciri-ciri
tersebut tercermin sesuatu yang sarat akan tanggung jawaban, nilai-nilai sosial
dan jelas. Sebab disadari bahwa pada tatanan yang lebih teknis, yaitu dalam
bentuk laporan keuangan, akuntansi syariah masih mencari bentuk. Di dalam tesis
ini, bentuk konkrit akuntansi syariah secara utuh belum dapat ditampilkan,
sebab untuk sampai pada tataran praktik dan bentuk laporan keuangan yang utuh
memerlukan dukungan teori yang lengkap dan kuat.
Memang harus diakui, tidak banyak pemikir yang
memiliki kepedulian mengembangkan akuntansi berdasarkan nilai-nilai Islam.
Beberapa pemikir yang dapat dicontohkan disini misalnya: Gambling dan Karim
(1991); Baydoun dan Willet (1994). Menurut penilaian Gambling dan Karim, bahwa
pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk membangun akuntansi (kebanyakan)
adalah dengan pendekatan.
Persamaan dan
perbedaan lembaga keuangan syari’ah dan konvensional
Meskipun lembaga keuangan syariah dan lembaga keuangan konvensional
memiliki banyak perbedaan, namun tidak menutup kemungkinan tentang
persamaannya. Persamaan lembaga keuangan syari’ah dengan konvensional meliputi:
(1) teknis penerimaan uang; (2) mekanisme transfer; (3) teknologi computer yang
digunakan; (4) syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KT, NPWP,
proposal dan lain sebagainya.
Perbedaan lembaga keuangan syariah dengan konvensional meliputi: pertama,
aspek akad (transaksi) dan legalitas; Setiap lembaga keuangan syariah keuangan
dalam lembaga keuangan syariah, baik dalamhal barang, praktisi transaksi,
maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentauan lembaga keuangan syariah,
seperti rukun dan syaratnya. Kedua, bisnis dan usaha yang dibiayai; terdapat
saringan kehalalan, kemanfaatan dan kemaslahatan. Untuk menentukan kehahalan,
kemafaatan dan kemaslahatan dapat diidentifikasi melalui pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut:
a.
Apakah objek pembiayaan halal atau haram?
b.
Apakah proyek menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat?
c.
Apakah proyek berkaitan dengan pebuatan mesum /
asusila?
d.
Apakah protek berkaitan dengan perjudian?
e.
Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata
illegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal?
f.
Apakah proyek dapat merugikan syi’ar Islam, baik secara
langsung atau tidak langsung?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak bersifat absolute. Artinya
pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa saja bertambah seiring dengan perkembangan
jaman yang ada. Hal lain yang harus ditunjukkan oleh LKS adalah lingkungan
kerja (corporate culture) yang berbeda dengan LKK. Lingkungan kerja yang
sejalan dengan syariah dalam hal etika, misalnya: (a) amanah (dapat dipercaya);
(b) shiddiq (benar); (c) fathonah (cerdas dan professional); (d) tabligh (mampu
melaksanakan tugas secara team-work di mana informasi merata di seluruh
fungsional organisasi.
Lingkungan kerja dan corporate culture adalah cara berpakaian dan
bertingkah laku, misalnya rapa, sopan dan menutup aurat, lemah lembut, akhlaq
yang baik menghadapi nasabah, membudayakan senyum (bagian dari shadaqah),
struktur organisasi, keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang
bertugas mengawasi operasional Lembaga Keuangan Syariah dan produk-produknya
agar sesuai dengan garis-garis syariah. Untuk memperjelas perbedaan LKS dan LLK
dibicarakan pada pembahasan selanjutnya. Dari uraian diatas tampak bahwa
lembaga keuangan syariah memiliki karakter yang berbeda dengan lembaga keuangan
konvensional pada umumnya, meskipun ada kesamaan dalam hal-hal tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs. Muhammad, M.Ag., Pengantar Akuntansi Syari’ah. Salemba
Empat, Jakarta, 2002.
_________________, Pengantar Akuntansi Syari’ah Edisi 2,
Salemba Empat, Jakarta, 2004.
Triyuwono Iwan, Perspektif, Metolodologi dan Teori Akuntansi
Syari’ah, Raja Granfindo Persada, Jakarta, 2006.
TEORI
AKUNTANSI
SYARI’AH
Disusun
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata
Kuliah Akuntansi Syariah
Dosen
Pembimbing:
Sri
Dwi Estiningrum, SE.Ak.MM

Disusun
oleh :
Nila Uswatul Husna
3221083028
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUNGAGUNG
|
[1]
Tiga dimensi ini digabungkan dengan symbolic interactionism sehingga
menjadi “extended” symbolic interactionism yang kemudian
dijadikan alat untuk menganalisis (Triyuwono 1995; 2000a) fakta-fakta empiris.